" Karmamy Eva Dhikaras te; Ma Phalesu Kadacana; Ma Karmaphalahetur Bhur; Ma Te Sango 'Stvakarmani" "Jalankan saja kewajibanmu; Jangan mengharap hasil; Jangan biarkan pahala menjadi motif tindakanmu; Demikian pula jangan biarkan dirimu berdiam diri".

24 Jan 2013

MENGENAL HINDU 3

TIGA KERANGKA DASAR AGAMA HINDU
Ajaran Agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan "Tiga Kerangka Dasar", di mana bagian yang satu dengan lainnya saling isi mengisi dan merupakan satu kesatuan yang bulat untuk dihayati dan diamalkan guna mencapai tujuan agama yang disebut Jagadhita dan Moksa.
Tiga Kerangka Dasar tersebut adalah:
1.       Tattwa / Filsafat
2.       Susila / Etika
3.       Upacara / Ritual
TATTWA
Sebenarnya agama Hindu mempunyai kerangka dasar kebenaran yang sangat kokoh karena masuk akal dan konseptual. Konsep pencarian kebenaran yang hakiki di dalam Hindu diuraikan dalam ajaran filsafat yang disebut Tattwa. Tattwa dalam agama Hindu dapat diserap sepenuhnya oleh pikiran manusia melalui beberapa cara dan pendekatan yang disebut Pramana. Ada 3 (tiga) cara penyerapan pokok yang disebut Tri Pramana. Tri Pramana ini, menyebabkan akal budi dan pengertian manusia dapat menerima kebenaran hakiki dalam tattwa, sehingga berkembang menjadi keyakinan dan kepercayaan. Kepercayaan dan keyakinan dalam Hindu disebut dengan sradha. Dalam Hindu, sradha disarikan menjadi 5 (lima) esensi, disebut Panca Sradha

 
Berbekal Panca Sradha yang diserap menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan hidup seorang Hindu menuju ke satu tujuan yang pasti. Ke arah kesempurnaan lahir dan batin yaitu Jagadhita dan Moksa. Ada 4 (empat) jalan yang bisa ditempuh, jalan itu disebut Catur Marga.
Demikianlah tattwa Hindu Dharma. Tidak terlalu rumit, namun penuh kepastian. Istilah- istilah yang disebutkan di atas janganlah dianggap sebagai dogma, karena dalam Hindu tidak ada dogma. Yang ada adalah kata- bantu yang telah disarikan dari sastra dan veda, oleh para pendahulu kita, agar lebih banyak lagi umat yang mendapatkan pencerahan, dalam pencarian kebenaran yang hakiki.
Tri Pramana
Dalam ajaran agama Hindu terdapat konsepsi ajaran yang disebut Tri Pramana. "Tri" artinya tiga, "Pramana" artinya jalan, cara, atau ukuran. Jadi Tri Pramana adalah tiga jalan/ cara untuk mengetahui hakekat kebenaran sesuatu, baik nyata maupun abstrak yang meliputi:
·         Agama Pramana adalah suatu ukuran atau cara yang dipakai untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan mempercayai ucapan- ucapan kitab suci, karena sering mendengar petuah- petuah dan ceritera para guru, Resi atau orang- orang suci lainnya.
·         Anumana Pramana adalah cara atau ukuran untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan menggunakan perhitungan logis berdasarkan tanda- tanda atau gejala- gejala yang dapat diamati. Dari tanda- tanda atau gejala- gejala itu ditarik suatu kesimpulan tentang obyek yang diamati tadi. Cara menarik kesimpulan adalah dengan dalil sebagai berikut: YATRA YATRA DHUMAH, TATRA TATRA WAHNIH  Di mana ada asap di sana pasti ada api
·         Pratyaksa Pramana adalah cara untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan cara mengamati langsung terhadap sesuatu obyek, sehingga tidak ada yang perlu diragukan tentang sesuatu itu selain hanya harus meyakini.

PANCA SRADHA

Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Tuhan itu Maha Esa, tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Advaita Vedanta menegaskan bahwa, hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha. Panca Sradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
  1. Widhi Tattwa    percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa                    dan segala aspeknya
  2. Atma Tattwa    percaya dengan adanya jiwa dalam                        setiap makhluk
  3. Karmaphala    percaya dengan adanya hukum                               sebab-akibat dalam setiap perbuatan
  4. Punarbhawa    percaya dengan adanya proses                                kelahiran kembali (reinkarnasi)
  5. Moksha           percaya bahwa kebahagiaan tertinggi                     merupakan tujuan akhir  manusia

1.    Widhi Tattwa


Widhi Tattwa merupakan konsep kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam pandangan Hinduisme. Agama Hindu yang berlandaskan Dharma menekankan ajarannya kepada umatnya agar meyakini dan mengakui keberadaan Tuhan yang Maha Esa. Dalam filsafat Advaita Vedānta dan dalam kitab Veda, Tuhan diyakini hanya satu namun orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama. Dalam agama Hindu, Tuhan disebut Brahman. Filsafat tersebut juga enggan untuk mengakui bahwa Dewa-Dewi merupakan Tuhan tersendiri atau makhluk yang menyaingi derajat Tuhan.

Brahman adalah penguasa tertinggi dalam konsep ketuhanan Hindu. Brahman bersifat kekal, imanen, tak terbatas, tak berawal dan tak berakhir juga menguasai segala bentuk, ruang, waktu, energi serta jagat raya dan segala isi yang ada didalamnya.
Agama Hindu mendidik umatnya untuk yakin akan adanya kemahaagungan Sang Hyang Widhi Wasa. Tuhan merupakan sumber segala yang ada di alam ini baik yang tampak nyata maupun yang abstrak (sekala - niskala).
  • Tuhan adalah Maha Kuasa dan Esa yang menguasai segala aspek alam semesta baik Bhur, Bhuwah, dan Swah yang ( Prabu Sakti )
  • Tuhan berada di mana- mana dan mengatasi segala keadaan, ada tanpa diadakan atau ada karena mengadakan dirinya sendiri (Wibhu Sakti),
  • Maha Pencipta (Krya Sakti),
  • Maha Mengetahui segala- galanya (Jnana Sakti).
Keempat Ke-Maha Kuasa-an Tuhan ini sering disebut sebagai Cadu Sakti atau Catur Sakti.
Sifat – Sifat Tuhan / Brahman
Di dalam kitab Wrhaspatitattwa terdapat keterangan tentang sifat- sifat Tuhan yang disebut Asta Sakti atau Astaiswarya yang artinya delapan sifat kemahakuasaan Tuhan. Tertuang dalam salah satu slokanya yaitu sloka 14 :
Anima laghimascaiwa mahima praptirewaca prakamyan ca isitwam ca wasistwam yatrakama wasa yitwam
  1. Anima, "Anu" yang berarti "atom". Anima dari Astaiswarya, ialah sifat yang halus bagaikan kehalusan atom yang dimiliki oleh Sang Hyang Widhi Wasa.
  2. Laghima, Laghima berasal dari kata "Laghu" yang artinya ringan. Laghima berarti sifat- Nya yang amat ringan lebih ringan dari ether.
  3. Mahima, Mahima berasal dari kata "Maha" yang berarti Maha Besar, di sini berarti Sang Hyang Widhi Wasa meliputi semua tempat. Tidak ada tempat yang kosong (hampa) bagi- Nya, semua ruang angkasa dipenuhi.
  4. Prapti, Prapti berasal dari "Prapta" yang artinya tercapai. Prapti berarti segala tempat tercapai oleh- Nya, ke mana Ia hendak pergi di sana Ia telah ada.
  5. Prakamya, berasal dari kata "Pra Kama" berarti segala kehendak- Nya selalu terlaksana atau terjadi.
  6. Isitwa, berasal dari kata "Isa" yang berarti raja, Isitwa berarti merajai segala- galanya, dalam segala hal paling utama.
  7. Wasitwa, berasal dari kata "Wasa" yang berarti menguasai dan mengatasi. Wasitwa artinya paling berkuasa.
  8. Yatrakamawasayitwa berasal dari kata "Wasa" yang berarti menguasai dan mengatasi. Wasitwa artinya paling berkuasa.
Sloka – sloka lain menyebutkan :
Sloka :
sarvatai-pāda tat sarvato ‘ki-śiro-mukham, sarvata śrutimal loke sarvam āvtya   tiṣṭhati
Arti  :
Beliau memiliki tangan, kaki, mata, kepala, dan muka yang berada dimana-mana, dan Beliau memiliki telinga di segala penjuru. Ia berada dalam segala sesuatu dan meliputi alam semesta
Sloka :
sarvendriya-guābhāsa sarvendriya-vivarjitam, asakta sarva-bhc caiva nirguam        guna-bhokt ca
Arti  :
Beliau sumber asli segala indria, namun tanpa memiliki indria. Beliau tidak terikat, walau   Beliau memelihara semua makhluk. Beliau melampaui sifat-sifat alam, dan pada waktu yang sama Beliau adalah penguasa semua sifat alam material
Sloka :
bair antaś ca bhūtānām acara caram eva ca, sūkmatvāt tad avijñeya dūra-stha cāntike ca tat
Arti  :
Beliau berada di luar dan di dalam segala insan, tidak bergerak namun senantiasa bergerak, Beliau di luar daya pemahaman indria material. Beliau amat jauh, namun juga begitu dekat   kepada semua makhluk
Sloka :
avibhakta ca bhūteu vibhaktam iva ca sthitam, bhūta-bhart ca taj jñeya grasiṣṇu prabhaviṣṇu ca
Arti  :
Walaupun Beliau terbagi di antara insani, namun Beliau tidak dapat dibagi. Beliau mantap sebagai Yang Maha Tunggal. Beliau pemelihara segala makhluk, dan Beliau menciptakan sekaligus memusnahkan mereka
Sloka :
jyotiām api taj jyotis tamasah param ucyate, jñāna jñeya jñāna-gamya hdi sarvasya         viṣṭhitam
Arti  :
Beliau adalah sumber dari segala benda yang bercahaya. Baliau di luar kegelapan alam dan    tidak terwujud. Beliau adalah pengetahuan dan tujuan pengetahuan. Beliau bersemayam di dalam hati sanubari segala makhluk

     2.  Ātmā Tattwa

Atma tattwa merupakan kepercayaan bahwa terdapat jiwa dalam setiap makhluk hidup. Dalam ajaran Hinduisme, jiwa yang terdapat dalam makhluk hidup merupakan percikan yang berasal dari Tuhan dan disebut “Jiwatma”. Jiwatma bersifat abadi, namun karena terpengaruh oleh badan manusia yang bersifat “Maya”, maka Jiwatma tidak mengetahui asalnya yang sesungguhnya. Keadaan itu disebut “Awidya”. Hal tersebut mengakibatkan Jiwatma mengalami proses reinkarnasi berulang-ulang. Namun proses reinkarnasi tersebut dapat diakhiri apabila Jiwatma mencapai moksha
Atman atau Atma dalam ajaran Hindu merupakan percikan kecil dari Brahman yang berada di dalam setiap makhluk hidup. Atman di dalam badan manusia disebut: Jiwatman atau jiwa atau roh yaitu yang menghidupkan manusia. Demikianlah atman itu menghidupkan sarwa prani (makhluk di alam semesta ini). Indria tak dapat bekerja bila tak ada atman. Misalnya telinga tak dapat mendengar bila tak ada atman, mata tak dapat melihat bila tak ada atman, kulit tak dapat merasakan bila tak ada atman. Atman itu berasal dari Brahman, bagaikan matahari dengan sinarnya. Brahman sebagai matahari dan atma-atma sebagai sinar-Nya yang terpencar memasuki dalam hidup semua makhluk.
Atma tidak dapat menjadi subyek atau obyek dan tindakan atau pekerjaan. Atma tidak terpengaruh akan perubahan-perubahan yang dijalani maupun dialami pikiran, hidup dan jasad atau badan jasmani. Badan jasmani bisa berubah, lahir, mati, datang dan pergi, namun Atma tetap langgeng untuk selamanya.
Sifat –sifat Atman
*       Achedya         tak terlukai oleh senjata                     
*       Adahya           tak terbakar oleh api
*       Akledya          tak terkeringkan oleh angin   
*       Acesyah          tak terbasahkan oleh air
*       Nitya                abadi                                     
*       Sarwagatah     di mana- mana ada
*       Sthanu                         tak berpindah- pindah                       
*       Acala              tak bergerak
*       Sanatana        selalu sama                            
*       Awyakta          tak dilahirkan
*       Acintya            tak terpikirkan                         
*       Awikara           tak berubah dan sempurna tidak                               laki- laki ataupun perempuan.

     3.  Karmaphala
Agama Hindu mengenal “hukum sebab-akibat” yang disebut Karmaphala. Berasal dari kata karma = perbuatan dan phala = buah/hasil. Karmapala menjadi salah satu keyakinan dasar. Dalam ajaran Karmaphala, setiap perbuatan manusia pasti membuahkan hasil (baik atau buruk). Ajaran Karmaphala sangat erat kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi, karena dalam ajaran Karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun duka) disebabkan karena hasil perbuatan manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia menjalani hidup maupun apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan nasib baik/buruk yang akan ia jalani sementara Tuhan yang menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun setelah reinkarnasi).
Berdasarkan dari hasilnya dan waktu penentuannya Karmapala dibagi menjadi tiga. Ketiga jenis pembagiannya adalah sebagai berikut :
·         Sancitha Karmapala  = perbuatan pada kehidupan lampau kita terima saat ini
·         Prarabda Karmapala = perbuatan sekarang kita terima sekarang
·         Kryamana Karmapala = perbuatan sekarang kita terima pada kehidupan mendatang.
Dengan pengertian tiga macam Karmaphala itu maka jelaslah, cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Karmaphala mengantarkan roh (atma) masuk Surga atau masuk neraka. Bila dalam hidupnya selalu berkarma baik maka pahala yang didapat adalah Surga, sebaliknya bila hidupnya itu selalu berkarma buruk maka hukuman nerakalah yang diterimanya. Dalam pustaka- pustaka dan ceritera- ceritera keagamaan dijelaskan bahwa Surga artinya alam atas, alam suksma, alam kebahagiaan, alam yang serba indah dan serba mengenakkan. Neraka adalah alam hukuman, tempat roh atau atma mendapat siksaan sebagai hasil dan perbuatan buruk selama masa hidupnya. Selesai menikmati Surga atau neraka, roh atau atma akan mendapatkan kesempatan mengalami penjelmaan kembali sebagai karya penebusan dalam usaha menuju Moksa.

4.    Punarbhawa ( Samsara )


Wahai Arjuna, kamu dan Aku telah lahir berulang- ulang sebelum ini, hanya Aku yang tahu sedangkan kamu tidak, kelahiran sudah tentu akan diikuti oleh kematian dan kematian akan diikuti oleh kelahiran
Punarbhawa ( dari kata Punar = sirna, mati & kata Bhawa = lahir kembali. Merupakan keyakinan bahwa manusia mengalami reinkarnasi. Dalam ajaran Punarbhawa, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Apabila manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya (baik atau buruk) yang belum sempat dinikmati. Proses reinkarnasi diakhiri apabila seseorang mencapai kesadaran tertinggi (moksha).
Reinkarnasi (dari bahasa Latin untuk "lahir kembali" atau "kelahiran semula"[1]) atau t(um)itis, merujuk kepada kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan kembali ke bumi ini. Terdapat dua aliran utama yaitu mereka yang mempercayai bahwa manusia akan kembali kekal lahir kembali dan mereka yang mempercayai bahwa manusia akan berhenti lahir semula pada suatu ketika apabila mereka melakukan kebaikan yang mencukupi atau apabila mendapat kesadaran agung (Nirvana) atau menyatu dengan Tuhan (moksha), contohnya ajaran Buddha dan Hindu.

Reinkarnasi dalam Hinduisme

Dalam agama Hindu, filsafat reinkarnasi mengajarkan manusia untuk sadar terhadap kebahagiaan yang sebenarnya dan bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Selama manusia terikat pada siklus reinkarnasi, maka hidupnya tidak luput dari duka. Selama jiwa terikat pada hasil perbuatan yang buruk, maka ia akan bereinkarnasi menjadi orang yang selalu duka. Dalam filsafat Hindu dan Buddha, proses reinkarnasi memberi manusia kesempatan untuk menikmati kebahagiaan yang tertinggi. Hal tersebut terjadi apabila manusia tidak terpengaruh oleh kenikmatan maupun kesengsaraan duniawi sehingga tidak pernah merasakan duka, dan apabila mereka mengerti arti hidup yang sebenarnya
Dalam filsafat agama Hindu, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Pada saat manusia hidup, mereka banyak melakukan perbuatan dan selalu membuahkan hasil yang setimpal. Jika manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya yang belum sempat dinikmati.
Jadi, lahir kembali berarti lahir untuk menanggung hasil perbuatan yang sudah dilakukan. Dalam filsafat ini, bisa dikatakan bahwa manusia dapat menentukan baik-buruk nasib yang ditanggungnya pada kehidupan yang selanjutnya.

Proses reinkarnasi

Pada saat jiwa lahir kembali, roh yang utama kekal namun raga kasarlah yang rusak, sehingga roh harus berpindah ke badan yang baru untuk menikmati hasil perbuatannya. Pada saat memasuki badan yang baru, roh yang utama membawa hasil perbuatan dari kehidupannya yang terdahulu, yang mengakibatkan baik-buruk nasibnya kelak. Roh dan jiwa yang lahir kembali tidak akan mengingat kehidupannya yang terdahulu agar tidak mengenang duka yang bertumpuk-tumpuk di kehidupan lampau. Sebelum mereka bereinkarnasi, biasanya jiwa pergi ke sorga atau ke neraka.
Dalam filsafat agama yang menganut faham reinkarnasi, neraka dan sorga adalah suatu tempat persinggahan sementara sebelum jiwa memasuki badan yang baru. Neraka merupakan suatu pengadilan agar jiwa lahir kembali ke badan yang sesuai dengan hasil perbuatannya dahulu. Dalam hal ini, manusia bisa bereinkarnasi menjadi makhluk berderajat rendah seperti hewan, dan sebaliknya hewan mampu bereinkarnasi menjadi manusia. Sidang neraka juga memutuskan apakah suatu jiwa harus lahir di badan yang cacat atau tidak.

Akhir proses reinkarnasi

Selama jiwa masih terikat pada hasil perbuatannya yang terdahulu, maka ia tidak akan mencapai kebahagiaan yang tertinggi, yakni lepas dari siklus reinkarnasi. Maka, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi tersebut, roh yang utama melalui badan kasarnya berusaha melepaskan diri dari belenggu duniawi dan harus mengerti hakikat kehidupan yang sebenarnya. Jika tubuh terlepas dari belenggu duniawi dan jiwa sudah mengerti makna hidup yang sesungguhnya, maka perasaan tidak akan pernah duka dan jiwa akan lepas dari siklus kelahiran kembali. Dalam keadaan tersebut, jiwa menyatu dengan Tuhan (Moksha).

     5  Moksha

Dalam keyakinan umat Hindu, Moksha merupakan suatu keadaan di mana jiwa merasa sangat tenang dan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya karena tidak terikat lagi oleh berbagai macam nafsu maupun benda material. Pada saat mencapai keadaan Moksha, jiwa terlepas dari siklus reinkarnasi sehingga jiwa tidak bisa lagi menikmati suka-duka di dunia.  Moksa (Sansekerta: moka) adalah sebuah konsep agama Hindu dan Buddha. Artinya ialah kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi atau juga bersatunya Atman dengan Braman “ Brahman Atman Aikyam”.
Bahunam janmanam ante jnnanawan mam prapadyate, Wasudewah sarwam iti sa mahatma sudurlabhah.
Pada akhir dari banyak kelahiran orang yang bijaksana menuju kepada Aku, karena mengetahui bahwa Tuhan adalah semuanya yang ada. Bhagavad-Gita VII. 19:
Kebebasan yang sulit dicapai banyak makhluk akan lahir dan mati. serta hidup kembali tanpa kemauannya sendiri. Akan tetapi masih ada satu yang tak tampak dan kekal, tiada binasa dikala semua makhluk binasa. Nah, yang tak tampak dan kekal itulah harus menjadi tujuan utama supaya tidak lagi mengalami penjelmaan ke dunia, tetapi mencapai tempat Brahman yang tertinggi.

Jika kita selalu ingat kepada Brahman, berbuat demi Brahman maka tak usah disangsikan lagi kita akan kembali kepada Brahman. Untuk mencapai ini orang harus selalu berusaha, berbuat baik sesuai dengan ajaran agamanya. Kitab suci telah menunjukkan bagaimana caranya orang melaksanakan pelepasan dirinya dari ikatan maya agar akhirnya Atman dapat bersatu dengan Brahman (suka tan pawali duka), sehingga penderitaan dapat dikikis habis dan tidak lagi menjelma ke dunia ini sebagai hukuman, tetapi sebagai penolong sesama manusia.

Dalam ajaran agama Hindu terdapat empat jalan untuk mencapai kesempurnaan hidup lahir dan batin (Jagadhita dan Moksa) yang disebut dengan Catur Marga. "Catur" artinya empat, "Marga" artinya jalan.

·         Bhakti Marga

·         Karma Marga

·         Jnana Marga

·         Raja Yoga Marga

·          

1.       Bhakti Marga adalah usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan jalan sujud bakti kepada Tuhan. Dengan sujud dan cinta kepada Tuhan Pelindung dan Pemelihara semua makhluk, maka Tuhan akan menuntun seorang Bhakta, yakni orang yang cinta, bakti dan sujud kepada- Nya untuk mencapai kesempurnaan. Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti ialah rajin menyembah Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas, seperti melaksanakan Tri Sandhya yaitu sembahyang tiga kali dalam sehari, pagi, siang, dan sore hari dan bersembahyang hari suci lainnya.

2.       Karma Marga berarti jalan atau usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan melakukan kebajikan, tiada terikat oleh nafsu hendak mendapat hasilnya berupa kemasyhuran, kewibawaan, keuntungan, dan sebagainya, melainkan melakukan kewajiban demi untuk mengabdi, berbuat amal kebajikan untuk kesejahteraan umat manusia dan sesama makhluk.
3.       Jnana Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai jagadhita dan Moksa dengan mempergunakan kebijaksanaan filsafat & pengetahuan (Jnana).
4.       Raja Yoga Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa melalui pengabdian diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa yaitu mulai berlangsung dan berakhir pada konsentrasi. Dalam arti yang lebih luas yoga ini mengandung pengertian tentang pengekangan diri. Dengan pengendalian diri yang ketat, tekun dalam yoga, maka persatuan Atman dengan Brahman akan tercapai.
SUSILA / ETIKA HINDU      
Pengertian Etika dalam Hindu
Kata Susila terdiri dari dua suku kata: "Su" dan "Sila". "Su" berarti baik, indah, harmonis. "Sila" berarti perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya.
Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang. Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau) mengandung makna bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam hubungan ajaran susila beberapa aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari- hari diuraikan lagi secara lebih terperinci.
1.       Tri Kaya Parisudha
2.       Catur Paramitha
3.       Panca Yama & Nyama Brata
4.       Tri Mala
5.       Sad Ripu
6.       Catur Asrama
7.       Catur Purusa Artha
8.       Catur Warna
9.       Catur Guru
Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha adalah tiga jenis perbuatan yang merupakan landasan ajaran Etika Agama Hindu yang dipedomani oleh setiap individu guna mencapai kesempurnaan dan kesucian hidupnya, meliputi:
1.       Manacika        : berpikir yang baik - Tidak sekali- kali mengingini sesuatu yang bukan haknya. Tidak   berpikir / berprasangka buruk terhadap orang / makhluk lain. Tidak mengingkari hukum Karmaphala
2.       Wacika            : berkata yang baik  “Tan wak parusnya”/ “Tan ujar ala” (Tidak suka mencaci maki ), “Tan ujar   mageleng”/ “Tan ujar aprigas” (Tidak suka berkata kasar) “Tan raja pisuna” / “Tan ujar pisuna” ( Tidak suka memfitnah “Tan mitya macana”/ “Tan ujar mitya” ( Tidak ingkar pada janji)
3.       Kayika             : berbuat yang baik – tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama.
Pada hakekatnya hanya dari adanya pikiran yang benar akan menimbulkan perkataan yang benar sehingga mewujudkan perbuatan yang benar pula. Dengan ungkapan lain adalah satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan. (satya hrdaya, satya wacana dan satya laksana)
Catur Paramitha
Adalah empat sifat yang sangat mulia diantaranya :
1.       Maitri               : sifat suka menolong orang lain yang                          dalam kesusahan dengan ikhlas
2.       Karuna             : sifat kasih sayang dan cinta kepada                           sesama tanpa meminta balasan
3.       Mudita             :  sifat simpatik dan ramah tamah                                 menghormati oang lain dengan tulus
4.       Upeksa            :  sifat mawas diri, tepa salira, bisa                                menempatkan diri, rendah hati


Panca Yama Bratha
Panca Yama Brata adalah lima jenis pengekangan diri berdasarkan atas upaya menjauhi larangan agama sebagai norma kehidupan sebagai berikut:
  1. Ahimsa            : kasih kepada makhluk lain, tidak                               membunuh atau menganiaya
  2. Brahmacari      : berguru dengan sungguh- sungguh
  3. Satya               : setia, pantang ingkar kepada janji
  4. Awyawaharika :cinta kedamaian, tidak suka bertengkar                   dan mengumbar bicara yang tidak                           bermanfaat
  5. Astenyaj          : jujur, pantang melakukan pencurian

Panca Niyama Brata
Panca Niyama Brata adalah lima jenis pengekangan diri berdasarkan atau tunduk (mengikuti) peraturan Dharma yang telah ditentukan, sebagai berikut
  1. Akrodha          :   Tidak dikuasai oleh nafsu kemarahan
  2. Guru Susrusa   : Hormat dan taat kepada guru serta                            patuh pada ajaran- ajarannya
  3. Sauca              :  Senantiasa menyucikan diri lahir batin
  4. Aharalagawa  : Pengaturan makan (makanan bergizi)                        dan tidak hidup berfoya- foya/ boros
  5. Apramada      : Tidak menyombongkan diri dan takabur.

Tri Mala
3 sifat buruk yang dapat meracuni budi manusia yang harus diwaspadai dan diredam sampai sekecil- kecilnya. Trimala merupakan tiga jenis kekotoran dan kebatilan jiwa manusia akibat pengaruh negatif dan nafsu yang sering tidak dapat terkendalikan dan sangat bertentangan dengan etika kesusilaan. Trimala patut diwaspadai dan diredam, karena ia akan menghancurkan hidup, meliputi:
  1. Mithya hrdya : berperasaan dan berpikiran buruk
  2. Mithya wacana : berkata sombong, angkuh, tidak                           menepati janji
  3. Mithya laksana : berbuat yang curang / culas / licik                        (merugikan orang lain)

Sad Ripu
Sad Ripu adalah enam musuh di dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang mengakibatkan ketidakstabilan emosi. Sad Ripu terdiri dari:
1.       Kama               :hawa nafsu yang tidak terkendalikan
2.       Lobha              :kelobaan (ketamakan), ingin selalu                           mendapatkan yang lebih
3.       Krodha             :kemarahan yang melampaui batas                           (tidak terkendalikan)
4.       Mada              :kemabukan yang membawa kegelapan                   pikiran.
5.       Moha               :kebingungan/ kurang mampu                                   berkonsentrasi sehingga akibatnya                            individu tidak dapat menyelesaikan                           tugas dengan sempurna.
6.       Matsarya         :iri hati/ dengki yang menyebabkan                           permusuhan.



Catur Asrama
4 tingkat kehidupan manusia dalam agama Hindu, disesuaikan dengan tahapan- tahapan jenjang kehidupan yang mempengaruhi prioritas kewajiban menunaikan dharmanya.
Menurut agama Hindu pembagian tingkat kehidupan manusia sesuai dengan sistem Catur Asrama, ialah sebagai berikut:
  1. Brahmacari Asrama adalah tingkat kehidupan berguru/ menuntut ilmu. Setiap orang harus belajar (berguru). Diawali dengan upacara Upanayana dan diakhiri dengan pengakuan dengan pemberian Samawartana/ Ijazah.
  2. Grehasta Asrama adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam masa ini penggunaan Artha dan Kama sangat penting artinya dalam membina kehidupan keluarga yang harmonis dan manusiawi berdasarkan Dharma.
  3. Wanaprastha Asrama adalah tingkat kehidupan ketiga dengan menjauhkan diri dari nafsu- nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma.
4.       Sanyasin (bhiksuka) Asrama adalah merupakan tingkat kehidupan di mana pengaruh dunia sama sekali lepas. Yang diabdikan adalah nilai- nilai dari keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang benar. Pada masa ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirtha yatra) ke tempat suci, di mana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa untuk mencapai Moksa.


Catur Purusa Artha
4 ( Empat ) dasar tujuan hidup manusia
Agama Hindu memberikan tempat yang utama terhadap ajaran tentang dasar dan tujuan hidup manusia. Dalam ajaran Agama Hindu ada suatu sloka yang berbunyi: "Moksartham Jagadhita ya ca iti dharmah", yang berarti bahwa tujuan beragama adalah untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan ketentraman batin (kedamaian abadi). Ajaran tersebut selanjutnya dijabarkan dalam konsepsi Catur Purusa Artha atau Catur Warga yang berarti empat dasar dan tujuan hidup manusia, yang terdiri dari:
1.       Dharma : merupakan kebenaran absolut yang mengarahkan manusia untuk berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran agama yang menjadi dasar hidup. Dharma itulah yang mengatur dan menjamin kebenaran hidup manusia.
2.       Artha : adalah kekayaan dalam bentuk materi/ benda- benda duniawi yang merupakan penunjang hidup manusia. Pengadaan dan pemilikan harta benda sangat mutlak adanya, tetapi yang perlu diingat agar kita jangan sampai diperbudak oleh nafsu keserakahan yang berakibat mengaburkan wiweka (pertimbangan rasional) tidak mampu membedakan salah ataupun benar. Artha perlu diamalkan (dana punia) bagi kepentingan kemanusiaan (fakir miskin, cacat, yatim piatu, dan lain- lain)
3.       Kama : adalah keinginan untuk memperoleh kenikmatan (wisaya). Kama berfungsi sebagai penunjang hidup yang bersifat tidak kekal. Manusia dalam hidup memiliki kecenderungan untuk memuaskan nafsu, tetapi sebagai makhluk berbudi ia mampu menilai perilaku mana yang baik dan benar untuk diterapkan.
4.       Moksa : adalah kelepasan, kebebasan atau kemerdekaan (kadyatmikan atau Nirwana) manunggalnya hidup dengan Pencipta (Sang Hyang Widhi Wasa) sebagai tujuan utama, tertinggi, dan terakhir, bebasnya Atman dan pengaruh maya serta ikatan subha asubha karma (suka tan pawali duka).
Catur Warna
Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang.
Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ''Catur" berarti empat dan kata "warna" yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan Sudra.
1.       Brahmana : disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
2.       Ksatria : disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
3.       Waisya : disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).
4.       Sudra : disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan.
Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur Warna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah. Pada hal Catur Warna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah yang identik dengan Kasta.
Kata "Kasta" berasal dari bahasa Portugis "Caste" yang berarti pemisah, tembok, atau batas. Timbulnya istilah kasta dalam masyarakat Hindu adalah karena adanya proses sosial (perkembangan masyarakat) yang mengaburkan pengertian warna. Pengaburan pengertian warna ini melahirkan tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang di masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya.
Istilah "kasta" tidak diatur di dalam kitab suci Weda. Kata "Kasta" itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti "kayu".
Diluar keempat golongan diatas, ada golongan lain, yaitu Paria, golongan orang-orang yang terbuang atau penjahat.

Catur Guru
4 kepribadian yang harus dihormati oleh setiap orang Hindu.
Untuk mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat Hindu tidak terlepas dari disiplin dalam setiap tingkah laku kita sehari- hari lebih- lebih terhadap catur kang Sinangguh Guru. Kata Guru dalam bahasa Sanskerta berarti berat. Dalam Agama Hindu ada 4 yang dianggap guru adalah:
1.       Guru Swadyaya : Tuhan yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai guru sejati maha guru alam semesta atau Sang Hyang Paramesti guru. Agama dan ilmu pengetahuan dengan segala bentuknya adalah bersumber dari beliau. SARWAM IDAM KHALUBRAHMAN (segala yang ada tidak lain dari Brahman). Demikian disebutkan dalam kitab Upanishad
2.       Guru Wisesa : Wisesa dalam bahasa Sanskerta berarti purusa/ Sangkapurusan yaitu pihak penguasa yang dimaksud adalah Pemerintah. Pemerintah adalah guru dan masyarakat umum yang berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memberikan kesejahteraan material dan spiritual.
3.       Guru Pengajian : Guru Parampara. Guru di sekolah yang telah benar- benar sepenuh hati dan ikhlas mengabdikan diri untuk mendidik serta mencerdaskan kehidupan Bangsa.
4.       Guru Rupaka : Orang yang melahirkan (orang tua), tanpa orang tua kita tak akan ada oleh karena itu betapa besarnya jasa- jasa orang tua dalam membimbing putra- putranya untuk melahirkan putra yang baik (suputra).

RITUAL / YADNYA
Pengertian
Yadnya adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa/ rohani dalam kehidupan ini berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada (Weda). Yadnya dapat pula diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi, berbuat baik (kebajikan), pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Di dalamnya terkandung nilai- nilai:
  1. Rasa tulus ikhlas dan kesucian.
  2. Rasa bakti dan memuja (menghormati) Sang Hyang Widhi Wasa, Dewa, Bhatara, Leluhur, Negara dan Bangsa, dan kemanusiaan.
  3. Di dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan masing- masing menurut tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra).
  4. Suatu ajaran dan Catur Weda yang merupakan sumber ilmu pengetahuan suci dan kebenaran yang abadi.
Pembagian Yadnya
Menurut Tingkatannya :
Di dalam menghayati serta mengamalkan ajaran agama, maka pelaksanaan Yadnya dilakukan secara bertingkat sesuai dengan kemampuan umat masing- masing. Adapun bentuk pelaksanaan Yadnya itu adalah sebagai berikut:
  1. Dalam bentuk pemujaan (sembah, kebaktian) ditujukan kepada:
    a) Sang Hyang Widhi Wasa.
    b) Para Dewa/ Dewi yang merupakan manifestasi                kemahakuasaan- Nya.
    c) Para Bhatara/ Bhatari, Leluhur.
  2. Dalam bentuk penghormatan ditujukan kepada:
    a) Pemerintah/ Pejabat Pemerintah.
    b) Orang- orang yang lebih tua atau yang berkedudukan lebih tinggi.
    c) Orang- orang yang berjasa dan para tamu.
    d) Makhluk- makhluk yang nampak dan tidak nampak yang lebih rendah derajatnya daripada manusia.

    Adapun bentuk rasa hormat yang kita berikan itu adalah tanpa merendahkan martabat diri sendiri, akan tetapi didasarkan atas keikhlasan, ketulusan, dan kerendahan hati dan prinsip saling hormat menghormati, harga menghargai, percaya mempercayai satu dengan yang lain.
  3. Dalam bentuk pengabdian, baik kepada keluarga, masyarakat, Negara, Bangsa, Tanah Air, dan kemanusiaan. Pengabdian yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa adalah merupakan pengabdian yang tertinggi nilainya. Pengabdian kepada keluarga (anak-istri), masyarakat, Negara, Bangsa, Tanah Air dan kemanusiaan itu, satu dengan yang lainnya saling berkaitan.
  4. Dalam bentuk cinta dan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup, terutama dalam keadaan melarat, menderita, terkena bencana/ malapetaka, di mana kemauan dan tindakan suka serta ikhlas berkorban sangat berperan di dalam bentuk cinta dan kasih sayang ini, demi kebahagiaan bersama dan kesempurnaan hidup.
  5. Dalam bentuk pengorbanan di mana pengorbanan benda, tenaga, pikiran, jiwa dan raga dapat diberikan demi menjunjung tinggi cita- cita yang mulia dan luhur, baik dalam hubungan dharma kepada negara maupun kepada agama (Dharmaning Negara dan Dharmaning Agama).
Dari kelima bentuk pelaksanaan yadnya tersebut dapat disimpulkan bahwa arti yadnya itu sangat luas dalam hubungannya dengan pelaksanaan dharma, bukan saja terbatas pada pelaksanaan Panca Yadnya ataupun pelaksanaan dari berbagai bentuk upacara- upacara yang menggunakan sarana ataupun yang tanpa menggunakan sarana.
Dalam pelaksanaan Upacara Yadnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
  1. Adanya kebersihan tempat/ bangunan suci serta sarana upacara.
  2. Adanya keseragaman pelaksanaan Upacara Yadnya.
  3. Ketertiban.
  4. Bahan- bahan Upacara Yadnya yang terdapat di daerah setempat, agar tidak terhalang karena tidak adanya sesuatu alat tertentu.
Menurut Jenisnya
Yadnya menurut jenis bisa di bagi menjadi lima yang disebut Panca Yadnya
1.       Dewa Yadnya. Ialah suatu korban suci/ persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh manifestasi- Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta Muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat- tempat suci). Korban suci tersebut dilaksanakan pada hari- hari suci, hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun (Pawedalan) ataupun hari- hari raya lainnya seperti: Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya Saraswati, Hari Raya Nyepi dan lain- lain.
2.       Pitra Yadnya  lalah suatu korban suci/ persembahan suci yang ditujukan kepada Roh- roh suci dan Leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacara Jenasah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
    1. Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
    2. Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
    3. Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.
3.       Manusa Yadnya   .Adalah suatu korban suci demi kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaannya dapat berupa Upacara Yadnya ataupun selamatan, di antaranya ialah:
    1. Upacara selamatan (Jatasamskara/ Nyambutin) guna menyambut bayi yang baru lahir.
    2. Upacara selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur 3 bulan (105 hari).
    3. Upacara selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton/ weton).
    4. Upacara perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala/ Citra Wiwaha/ Widhi-Widhana.
  1. Resi Yadnya. Adalah suatu Upacara Yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang- orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:
    1. Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
    2. Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.
    3. Menghaturkan/ memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
    4. Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
    5. Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.
5.       Bhuta Yadnya. Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk- makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara Yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/ alam semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.
Di dalam pelaksanaan yadnya biasanya seluruh unsur- unsur Panca Yadnya telah tercakup di dalamnya, sedangkan penonjolannya tergantung yadnya mana yang diutamakan.

Menurut Waktu Pelaksanaannya
Menurut ketentuan waktu pelaksanaan Yadnya, umat Hindu mengenal dua jenis Yadnya yang disebut dengan istilah:
  1. Nitya Karma Yadnya. Yaitu Yadnya yang dilaksanakan tiap- tiap hari. Contoh: Tri Sandhya, Memberi suguhan Yadnya Sesa (Ngejot/ Saiban).
  2. Naimittika Karma Yadnya.Yaitu Yadnya yang diseleng- garakan pada waktu- waktu tertentu. Contoh: Upacara Persembahyangan Purnama Tilem, selamatan, Hari Raya, dan sebagainya.
Menurut Cara Menjalankannya
Panca Marga Yadnya adalah merupakan dasar yang menunjang pelaksanaan Panca Yadnya.
  1. Drewya Yadnya. Adalah suatu korban suci secara ikhlas dengan menggunakan barang- barang yang dimiliki kepada orang lain pada waktu, tempat, dan alamat yang tepat, demi kepentingan dan kesejahteraan bersama, masyarakat, Negara dan Bangsa.
    seperti menengok orang sakit, sedekah ke Pendeta, anak yatim.
  2. Tapa Yadnya. Yaitu suatu korban suci dengan jalan bertapa, sebagai jalan peneguhan iman di dalam menghadapi segala jenis godaan agar memiliki ketahanan di dalam perjuangan hidup serta menyukseskan suatu cita- cita luhur.
    Apabila diyakini pelaksanaannya maka akan dicapai apa yang disebut "SATYAM EVA JAYATE" yang berarti hanya kebenaran yang menang pada akhirnya.
  3. Swadyaya Yadnya. Adalah suatu korban suci yang menggunakan sarana "diri sendiri" sebagai kurbannya (Sadhana), yang dilaksanakan dengan tulus ikhlas karena terdorong oleh perasaan kasih sayang yang sangat mendalam, seperti donor darah, menyumbangkan organ tubuh, menyumbangkan pikiran ataupun berjuang demu negara & darma.
  4. Yoga Yadnya. Adalah suatu korban suci dengan cara menghubungkan diri (menyatukan cipta, rasa, dan karsa) ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa yang sifatnya sangat mendalam, sehingga si pelaksana (Yogin) tersebut benar- benar merasakan bersatu serta manunggal dengan- Nya, mencapai alam kesucian atau Moksa.
  5. Jnana Yadnya. Jnana Yadnya berarti korban suci yang menyeluruh, yang berintikan dasar pengetahuan dan kesucian. Para Maha Resi terdahulu telah sanggup melaksanakan korban suci Jnana Yadnya ini, karena kesanggupan dan kemampuan beliau mengolah pikiran dengan ilmu pengetahuan kesuciannya itu sehingga mampu untuk menerima wahyu dari Sang Hyang Widhi Wasa.



 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VIDIO PERADAH JEMBRANA