PURA Jati berada di wilayah Desa Pengambengan, sekitar empat kilometer
arah selatan dari Kota Negara. Pura yang memiliki luas sekitar 47 are
ini merupakan salah satu Pura Dangkhayangan di Jembrana.
Sesuai namanya, pura ini memiliki keistimewaan pada pohon jati yang berada di dalam areal pura. Pura ini juga erat kaitannya dengan perjalanan Dang Hyang Nirartha di Pulau Bali.
Di bagian utama untuk persembahyangan ini juga terdapat bale banten serta bangunan bale gong, bale piasan, serta gedong busana. Empat pohon jati juga berada di areal pura. Menurut Klian Pengempon, Ketut Astika Jaya, terdapat keistimewaan pohon jati tersebut. Selain tidak bisa dicari bibit jatinya, ranting-ranting pohon yang sudah berumur ratusan tahun itu tidak pernah jatuh menimpa padmasana yang berada di bawahnya. Ranting itu pecah sendiri menjadi debu dan tidak menimpa padmasana.
Di sekitar mata air itu ada empat pohon jati yang saling berdekatan. Bahkan pernah salah satu pohon bengkok dan nyaris menimpa penyeker pura. Para pengempon dulu khawatir pohon itu akan menyundul penyengker, tetapi setelah beberapa bulan pohon itu bisa berdiri tegak dengan sendirinya.
''Selain itu, setelah beberapa tahun jarak antara padmasana dengan pohon jati yang dulunya hanya beberapa centimeter, kini semakin menjauh hingga mencapai dua meter. ''Dulu sampai pemangku memiringkan badan kalau lewat, sekarang sudah leluasa,'' terangnya.
Di madya mandala, terdapat bale pesandekan, kori agung dan apit lawang bale kulkul dan dapur. Di nista mandala terdapat wantilan serta tempat parkir yang sekarang cukup luas.
Pura ini juga mendapatkan bantuan dari Bupati Jembrana untuk membangun pagar alas mengelilingi areal pura dan candi bentar. Dalam lima tahun ke depan, pura ini rencananya dipugar di bagian utama mandala karena beberapa bagian pura sudah rapuh.
Selain saat piodalan, pura yang di-empon empat desa pakraman di Kecamatan Negara ini juga ramai pamedek saat purnama. Sebagian besar didominasi remaja dan pelajar yang ingin malukat. Termasuk saat Saraswati tak pernah putus para pamedek tangkil ke pura ini.
Di bagian utama mandala terdapat tujuh bangunan di antaranya padmasana, meru tumpang tiga, pepelik, sri sedana, pengayat Ulun Danu, taksu, gedong pesimpenan, dan pangelurah. Empat desa pakraman yang ngempon pura adalah Desa Pekraman Tegal Badeng Kauh, Tegal Badeng Kangin, Lelateng, dan Puseh Agung (Banjar Tengah).
Pura ini erat kaitannya dengan Dang Hyang Nirartha serta dua Pura Dangkhayangan lain di Jembrana, Pura Perancak dan Mertasari. Pura Jati ini disinggahi beliau setelah tiba di Perancak (Pura Dangkhayangan Perancak), dan singgah ke Desa Mertasari (Pura Amerthasari). Saat itu, wilayah gersang yang konon disebut Awen itu merupakan rawa dan hutan.
Dalam perjalanan itu, beliau sempat beristirahat di sana dan melakukan tapa yoga semedi. Sebelum bersemedi, beliau sempat menancapkan tongkatnya di sebuah gundukan dan ketika dicabut tumbuh pohon jati. Dari salah satu batang pohon jati berlubang terdapat sumber air yang tidak pernah surut. Hingga saat ini, pohon tersebut masih ada di dalam areal pura. Piodolan jatuh pada Coma Pon Wuku Sinta
Sejarah Pura Jati.
BERDASARKAN catatan yang ada, sejarah berdirinya Pura Jati memiliki kaitan dengan Pura Perancak, Pura Gede Amertasari dan Pura Dalem Melanting. Hal ini tertuang dalam konsep Purana yang sedang disusun Samania Tri Dharma Jati.
Sesuai namanya, pura ini memiliki keistimewaan pada pohon jati yang berada di dalam areal pura. Pura ini juga erat kaitannya dengan perjalanan Dang Hyang Nirartha di Pulau Bali.
Di bagian utama untuk persembahyangan ini juga terdapat bale banten serta bangunan bale gong, bale piasan, serta gedong busana. Empat pohon jati juga berada di areal pura. Menurut Klian Pengempon, Ketut Astika Jaya, terdapat keistimewaan pohon jati tersebut. Selain tidak bisa dicari bibit jatinya, ranting-ranting pohon yang sudah berumur ratusan tahun itu tidak pernah jatuh menimpa padmasana yang berada di bawahnya. Ranting itu pecah sendiri menjadi debu dan tidak menimpa padmasana.
Di sekitar mata air itu ada empat pohon jati yang saling berdekatan. Bahkan pernah salah satu pohon bengkok dan nyaris menimpa penyeker pura. Para pengempon dulu khawatir pohon itu akan menyundul penyengker, tetapi setelah beberapa bulan pohon itu bisa berdiri tegak dengan sendirinya.
''Selain itu, setelah beberapa tahun jarak antara padmasana dengan pohon jati yang dulunya hanya beberapa centimeter, kini semakin menjauh hingga mencapai dua meter. ''Dulu sampai pemangku memiringkan badan kalau lewat, sekarang sudah leluasa,'' terangnya.
Di madya mandala, terdapat bale pesandekan, kori agung dan apit lawang bale kulkul dan dapur. Di nista mandala terdapat wantilan serta tempat parkir yang sekarang cukup luas.
Pura ini juga mendapatkan bantuan dari Bupati Jembrana untuk membangun pagar alas mengelilingi areal pura dan candi bentar. Dalam lima tahun ke depan, pura ini rencananya dipugar di bagian utama mandala karena beberapa bagian pura sudah rapuh.
Selain saat piodalan, pura yang di-empon empat desa pakraman di Kecamatan Negara ini juga ramai pamedek saat purnama. Sebagian besar didominasi remaja dan pelajar yang ingin malukat. Termasuk saat Saraswati tak pernah putus para pamedek tangkil ke pura ini.
Di bagian utama mandala terdapat tujuh bangunan di antaranya padmasana, meru tumpang tiga, pepelik, sri sedana, pengayat Ulun Danu, taksu, gedong pesimpenan, dan pangelurah. Empat desa pakraman yang ngempon pura adalah Desa Pekraman Tegal Badeng Kauh, Tegal Badeng Kangin, Lelateng, dan Puseh Agung (Banjar Tengah).
Pura ini erat kaitannya dengan Dang Hyang Nirartha serta dua Pura Dangkhayangan lain di Jembrana, Pura Perancak dan Mertasari. Pura Jati ini disinggahi beliau setelah tiba di Perancak (Pura Dangkhayangan Perancak), dan singgah ke Desa Mertasari (Pura Amerthasari). Saat itu, wilayah gersang yang konon disebut Awen itu merupakan rawa dan hutan.
Dalam perjalanan itu, beliau sempat beristirahat di sana dan melakukan tapa yoga semedi. Sebelum bersemedi, beliau sempat menancapkan tongkatnya di sebuah gundukan dan ketika dicabut tumbuh pohon jati. Dari salah satu batang pohon jati berlubang terdapat sumber air yang tidak pernah surut. Hingga saat ini, pohon tersebut masih ada di dalam areal pura. Piodolan jatuh pada Coma Pon Wuku Sinta
Sejarah Pura Jati.
BERDASARKAN catatan yang ada, sejarah berdirinya Pura Jati memiliki kaitan dengan Pura Perancak, Pura Gede Amertasari dan Pura Dalem Melanting. Hal ini tertuang dalam konsep Purana yang sedang disusun Samania Tri Dharma Jati.
Sekitar
tahun 1478
Masehi,
Danghyang Dwijendra
atau yang
juga
dikenal dengan
Danghyang
Nirarta
atau Pedanda
Sakti
Wawu Rauh
meninggalkan
Blambangan
menuju Bali
menyeberangi
Segara
Rupek.
Beliau
datang
ke
Bali dalam
rangka
dharmayatra untuk
menyebarkan
ajaran agama Hindu.
Dalam
perjalanan
ini,
beliau ditemani
istri
dan tujuh
putra-putrinya
yakni
Diah Wiraga
Sloga, Ida
Wiraga Sandi, Ida
Lor, Ida
Ler, Ida
Istri
Rahi, Ida Telaga
dan Ida
Kaniten.
Dalam
penyeberangan
tersebut,
Danghyang
Nirarta
menaiki waluh yang
isinya
sudah dibuang,
sedangkan
istri
dan putra-putri
beliau
naik perahu
tradisional
atau
jukung yang bocor.
Karena
kesucian
beliau,
perjalanan ini
tidak
menemui hambatan.
Rombongan
ini
mendarat di
pantai
Purancak, Jembrana.
Pada
saat
itu, kehidupan
masyarakat
di
bawah kekuasaan I
Gusti
Ngurah Rangsasa
di mana
kehidupan
diselimuti
oleh
kegelapan (awidya).
Kehadiran
Danghyang
Dwijendra
ini
kemudian dikaitkan
dengan
anglurah I Gusti
Ngurah
Rangsasa dan
keberadaan
Pura
Gede Purancak.
Dalam
usaha
menyelamatkan masyarakat
Jembrana,
Danghyang
Dwijendra
masuk
langsung untuk
melakukan
pembinaan agama,
adat-istiadat
dan
ajaran kerohanian.
Sikap
beliau
ini bertentangan
dengan
istri dan
putra-putrinya.
Istri
dan
putra-putri beliau
mengalah, Sri
Patni
Kaniten bersama
putranya Ida
Telaga
dan Ida Kaniten
tinggal
dekat sebuah
telaga
di mana
beliau
menyebarkan benih-benih
padi.
Masyarakat
Jembrana
memberi
nama
tempat
itu Merta Sari
dan
pura yang didirikan
diberi
nama Pura
Gede
Amertasari.
Perjalanan
Danghyang
Dwijendra
selanjutnya
menuju
arah timur.
Dalam
perjalanan
itu,
beliau menemukan
seekor
naga raksasa yang
sangat
besar dan
memenuhi
jalan.
Danghyang
Dwijendra pun
masuk
ke mulut
naga
ini dan
menemukan
bunga
teratai.
Kejadian
aneh pun
terjadi,
tubuh
beliau menjadi
hitam
legam.
Istri
dan
putra-putri beliau
lari
tunggang langgang.
Setelah
semua
dikumpulkan, ternyata
ada
satu yang tidak
ditemukan
yakni
Diah Wiraga
Sloga.
Ketika
Danghyang
Dwijendra
menjumpai
putrinya
itu,
ternyata putrinya
sudah
moksah. Di
tempat
itu lalu
dibangun
pura
dengan
nama Pura
Dalem
Melanting.
Perjalanan
lalu
dilanjutkan dengan
menyisir
hutan (dari
Pegametan
menuju
Jembrana).
Dalam
perjalanan
itu,
beliau beristirahat
di
bawah sebatang
pohon.
Tongkat
yang beliau
bawa
ditancapkan di
dekat
beliau duduk.
Di
tempat
itulah kini
berdiri
sebuah pura yang
dibangun
untuk
menghormati jasa-jasa
Danghyang
Dwijendra.
Pura
ini diberi
nama
Pura
Jati (Sumber : Bali Post)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar