Pura
Rambut Siwi terletak di Desa Yeh Embang, sebelah timur kota Negara, ibukota
kabupaten Jembrana. Jaraknya sekitar 18 kilometer.Jika Anda berangkat dari
Kuta, Anda harus menempuh jarak sejauh 88 kilometer.
Asal
mula Pura Rambut Siwi tertuang dalam lontar Dwijendra Tatwa. Keberadaan pura
ini sangat terkait dengan mitologi kedatangan Mpu Dang Hyang Nirartha dari Jawa
Timur ke Bali pada tahun 1411 Caka atau tahun 1489 masehi. Ceritanya, ketika
Mpu Dang Hyang Nirartha ke Bali salah satu pura yang beliau kunjungi adalah
Pura Rambut Siwi.Saat beliau memasuki pura, penjaga pura mengharuskan agar Mpu
Dang Hyang Nirartha sembahyang di pura tersebut. Kalau tidak, beliau akan
diterkam oleh harimau.
Karena diharuskan, menyembahlah beliau di pura tersebut.Ternyata pura tersebut menjadi hancur berantakan.Melihat itu, penjaga pura akhirnya mohon maaf kepada Mpu Dang Hyang Nirartha.Di samping itu, penjaga pura mohon agar pura itu dikembalikan pada keadaan semula.Atas kesaktian Mpu Dang Hyang Nirartha, pura itu pun kembali utuh seperti sebelumnya.Lalu Mpu Dang Hyang Nirartha mengambil sehelai rambut beliau dan meletakkanya di pura tersebut untuk dijadikan sarana pemujaan.Sejak itulah pura tersebut bernama Pura Rambut Siwi.
Kisah
lain, Dang Hyang Nirartha dalam perjalanannya di Bali sempat tinggal di Desa
Gading Wani.Beliau mendengar di desa itu masyarakatnya sedang dilanda sakit
keras.Bahkan, tidak sedikit yang meninggal akibat sakit yang
dideritanya.Kedatangan Dang Hyang Nirartha di desa itu berhasil menyembuhkan
penyakit yang diderita masyarakat.Karena itu pula, masyarakat berharap agar
Dang Hyang Nirartha bisa tetap tinggal di desa itu.
Sayang,
Dang Hyang Nirartha tidak bisa memenuhi keinginan warga setempat, sebagai
gantinya, beliau menghadiahkan sehelai rambutnya sebagai jimat untuk menolak
wabah penyakit.Rambut inilah yang kemudian dipuja (Siwi) dan dibuatkan tempat
suci sebagai tempat penyimpanan.Karena itulah pura tersebut dinamakan Pura
Rambut Siwi.
Pura
Rambut Siwi terletak di pinggir pantai selatan Pulau Bali bagian barat, lebih
kurang 200 meter dari jalan raya jurusan Denpasar-Gilimanuk. Jadi mudah
dijangkau dengan kendaraan apa pun. Waktu kunjungan yang paling baik adalah
pada sore hari sebelum matahari terbenam.
Menurut Ida Ayu Putu Nuadnya, mangku
istri di Pura Luhur Rambut Siwi, dari semua pura tersebut, Pura Penataran dan
Pura Luhur merupakan pura inti, sedangkan yang lainnya merupakan pesanakan.
Di Pura Luhur terdapat 13 bangunan.
Bangunan itu antara lain Padma, Pengayeng Gunung Agung, Meru Tiga linggih Ida
Batara Sakti Wawu Rauh, Gedong, palinggih Ratu Nyoman Sakti, palinggih tumpang
dua linggih Batari Dewa Ayu Ulun Danu, palinggih Rambut Sedana, Taksu, Pepelik,
Piasan, Peselang, Bale Gong dan Gedong Pesimpenan Busana.
Karena secara geografis Pura Luhur
Rambut Siwi berada di wilayah Yeh Embang, Mendoyo maka pekandel pura pun
berasal dari tiga desa yang sekitar pura yakni Desa Yeh Embang Kangin, Yeh
Embang dan Yeh Embang Kauh. Dari tiga desa ini terdapat delapan bendesa.Saat ini
ketua pekandel dipegang Gusti Made Sedana, Bendesa Yeh Embang Kauh.Sementara
itu, Pengempon pura berasal dari Kecamatan Mendoyo dan Pekutatan.Ketua
pengempon dipegang Dewa Made Beratha.
Pada saat pujawali, selain Mangku
Lingsir Istri Dayu Ketut Alit, Mangku Gede Ida Bagus Kade Ordo dan Mangku Istri
Ida Ayu Putu Nuadnya, banyak pemangku yang ngayah di pura. Pembagian pemangku
yang ngayah sudah diatur oleh bendesa masing-masing.Namun untuk sehari-harinya,
Mangku Gede dan Mangku Istri yang berada di Pura Luhur.
Mohon
Keselamatan di Perjalanan
JIKA melintasi jalan Denpasar-Gilimanuk
di wilayah Yeh Embang, Mendoyo, banyak kendaraan yang berhenti di selatan
jalan.Pengguna jalan yang beragama Hindu biasanya melakukan persembahyangan di
tempat ini.
Bagi mereka yang sudah terbiasa, tempat
ini disebut Pura Pesanggrahan Rambut Siwi. Jika menghadap ke selatan dari Pura
Pesanggrahan ini, akan nampak Pura Luhur Rambut Siwi dengan background lautan
membiru.
Begitu turun dari kendaraan, ada umat yang
langsung masuk ke Pura Pesanggrahan dengan membawa canang sendiri atau membeli
di sekitar Pura Pesanggrahan. Usai sembahyang, mereka mendapat percikan tirtha
dari pemangku disertai doa semoga selamat dalam perjalanan. Bagi yang tidak
membawa canang, mereka tinggal turun dari kendaraan. Pemangku pun dengan sigap
akan melayani pemedek. Usai matirtha dan mendapat bija serta bunga, mereka
mengaturan sesari.Tidak ada ketentuan berapa sesari yang diaturkan.Semua itu
tergantung dari umat.Tak hanya umat saja yang didoakan supaya selamat dalam
perjalanan.Kendaraan pun ikut diperciki tirtha dan dipasangi bunga serta bija.
Pada hari-hari biasa, ratusan lebih
kendaraan mulai dari kendaraan pribadi hingga kendaraan umum berhenti untuk
berdoa dan mohon keselamatan. Pada hari libur atau hari-hari piodalan, jumlah
kendaraan akan meningkat. Rombongan yang matirtayatra ke tanah Jawa biasanya
berhenti untuk sembahyang di Pura Pesanggrahan ini.
Demikian pula dengan rombongan yang
plesir atau study tour ke Jawa.''Kami tidak pernah memaksakan umat untuk
berhenti dan sembahyang di Pura Pesanggrahan.Sembahyang itu tidak boleh
dipaksakan,'' ujar Ida Ayu Putu Nuadnya, mangku istri di Pura Luhur Rambut
Siwi.Sesari yang diperoleh dari pemedek, dipergunakan untuk biaya pujawali di
Pura Luhur Rambut Siwi.
Sejarah Singkat Pura Rambut Siwi
Setelah
Dang Hyang Dwijendra menjabat Pandita Kerajaan di Gelgel dan sudah memberikan diksa kepada Dalem Waturenggong, beberapa tahun kemudian beliau berniat untuk melakukan tirthayatra, melihat dari dekat perkembangan ajaran kerohanian di desa-desa.Untuk melaksanakan niat Beliau tersebut, beliau minta izin kepada Dalem Waturenggong agar beliau berkekan memberikan persetujuannya. Karena tujuannya sangat baik, Dalem tidak berkeberatan dan mengizinkan sang Mpu untuk melaksanakan perjalanan bertirthayatra itu.
Konon berangkatlah beliau menuju arah barat, mula-mula sampai di daerah Jembrana.Kebetulan beliau sampai pada sebuah parahyangan yang biasanya pura itu dujaga oleh seorang penjaga pura sekalian sebagai pemilik parahyangan itu. Seperti kebiasaan sang penunggu parahyangan itu, setiap orang yang lewat di tempat itu diharuskan untuk bersembahyang terlebih dahulu sebelum mereka meneruskan perjalanan. Kebetulan hari itu yang tengah lewat adalah Dang Hyang Nirartha. Sang penunggu parahyangan itu menegur sang Mpu agar beliau mengadakan persembahyangan di tempat suci itu. Dia juga menjelaskan bahwa parahyangan itu sangat angker sekali. Barangsiapa yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di sana, dia tidak mau menjamin keselamatannya. Pasti orang itu akan menemukan celaka.
Setelah sang Mpu bertanya, kesusahan apa yang akan dialami orang-orang yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di parahyangan itu, sang penunggu parahyangan itu mengatakan bahwa yang bersangkutan pasti akan dimakan macan. Di daerah sekitar itu banyak macan yang sangat ganas yang merupakan rencangan parahyangan ini. Dia meminta berkali-kali kepada Mpu Nirartha agar beliau mau bersembahyang terlebih dahulu sebelum beliau melanjutkan perjalanannya agar benar-benar selamat di perjalanannya nanti.
Mpu Nirartha menuruti perkataan sang penjaga pura itu, seraya beliau mempersiapkan diri akan bersembahyang. Di situ beliau menyatukan bayu, sabdha, dan idhepnya seraya mengarahkan konsentrasinya berngara sika atau mata ketiga.Tak lama kemudian tiba-tiba saja parahyangan menjadi pecah dan rubuh. Sang pemilik parahyangan itu angat kaget melihat kejadian yang sangat gaib itu, seraya ia minta ampun, agar parahyangan itu bisa dibangun lagi, sehingga ada tempat ia menghaturkan persembahyangan kehadapan Ida sang Hyang Widhi Wasa.
Sambil menangis ia mohon ampun kepada sang Mpu agar sudi memaafkan kesalahan-kesalahannya dan mohon agar parahyangannya dapat dibangun kembali. Sang Mpu Nirartha menasihatinya agar tidak membohongi penduduk yang tidak tahu apa itu, dan harus berjajni bakti kepada Sang Hyang Widhi selain kepada leluhur. Maka setelah ia berjanji tidak akan membohongi penduduk lagi, Maka Dang Hyang Nirartha membangun kembali tempat persembahyangan itu. Selanjutnya beliau emutuskan untuk tinggal lebih lama di sana. Lama kelamaan didengar sang Mpu berada di sana, banyak para penduduk datang, ada yang ingin berguru agama dan tidak sedikit yang datang untuk berobat. Hal itu terjadi karena nama beliau sebelumnya di Gadingwani sudah sangat dikenal betul sebagai ahli pengobatan di samping ahli ilmu agama. Ramailah orang datang ke parahyangan itu. Lama-kelamaan karena beliau memang ingin beranjangsana berkeliling, maka beliau menyatakan akan meninggalkan mereka dan meneruskan perjalanan. Para penduduk sangat sedih karena kepergian beliau, karena mereka sudah merasa senang beliau berada di sana.mereka memohondengan sangat agar sang Mpu bersedia tinggal lebih lama di sana. Sang Mpu tetap tidak bisa menuruti permintaan para menduduk itu. Maka untuk mengikat mereka, sang Mpu berkenan memberikan selembar rambut beliau agar ditaruh di tempat parahyangan itu untuk dijadkan penyiwian sebagai pertanda peringatan akan keberadaannya.
Kemudian dari tempat itu disebut Parahyangan Rambut Siwi atau Pura Rambut Siwi.Selanjutnya beliau menetapkan hari baik untuk pujawali Parahyangan Rambut Siwi tersebut.Piodalannya jatuh pada RABU UMANIS PRANGBAKAT.Pada hari itu disuruh menyelenggarakan pujawali untuk memohon berkah.Matahari ketika itu telah pudar cahayanya, kian merendah hendak menyembunyikan wajahnya di tepi langit barat, karena itu sang pendeta berniat akan bermalam di Pura Rambut Siwi. Orang-orang makin banyak menghadap sang pendeta, yang berniat memohon nasihat soal agama, ada pula yang mohon obat.
Semalam-malaman itu sang pendeta menasihatkan ajaran agama kepada penduduk, terutama berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi dan Bhatara-Bhatari leluhurnya, agar sejahtera hidupnya di dunia. Dan diperingatkan juga pelaksanaan puja wali di Pura Rambut Siwi agar masyarakat menjadi selamat dan tentram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar