Perancak dikenal
sebagai desa nelayan yang ada di pesisir selatan Jembrana. Di
desa ini pula terdapat sebuah pura yang diyakini sebagai cikal bakal Pura Dang
Kahyangan di Bali.
Pura tersebut adalah Pura Dang
Kahyangan Gede Perancak.
Bagaimana sejarah berdirinya Pura
Perancak?
Apa saja yang dimohon pemedek saat bersembahyang di pura ini?
BERDIRINYA
pura ini tidak bisa dilepaskan dari kedatangan Danghyang Dwijendra ke Bali. Hal
itu diakui Mangku Gede Nyoman Sadra (65), pemangku di Pura Dang Kahyangan
Perancak.
Tetapi tahun berapa kedatangan
Danghyang Dwijendra ke Bali tidak bisa dipastikan. Perkiraan
yang sering dipakai adalah sekitar tahun 1015. Catatan sejarah yang
bisa membuktikan ini pun belum ada.
Danghyang Dwijendra berhasil mencapai
moksa.
Ketika mencapai moksa, semua lontar
mengenai beliau juga ikut moksa. ''Kami pun tidak
berani memberi kepastian kapan sebenarnya beliau tiba untuk pertama kalinya di
Perancak ini,'' jelas Mangku Gede Nyoman Sadra.
Saat tiba pertama kali di Desa Jembrana
Pinggir Pantai (sebutan Perancak zaman dulu), Danghyang Dwijendra mengajak
istrinya Ida Ayu Mas Keniten dan tujuh putra. Beliau dan keluarga
datang dari tanah Belambangan, Jawa Timur.
Sesampai di Jembrana Pinggir Pantai,
beliau bertemu I Gusti Ngurah Rangsasa di Pura Usang, sebuah pura di tepi
pantai.
Ngurah Rangsasa yang mengemban Pura
Usang memaksa Danghyang Dwijendra untuk sembahyang. Jika tidak, bahaya akan mengancam Danghyang Dwijendra dan keluarga.
Awalnya, Danghyang Dwijendra menolak. Namun
karena terus dipaksa, Beliau pun berkenan. Ketika Beliau me-mona
dan meneng untuk bersemadi, pura tersebut roboh dan encak (hancur).
Ngurah Rangsasa pun ketakutan. Dia
lari ke arah utara hingga di Sawe. Sampai menemui ajalnya,
dia berada di Sawe.
Hingga kini daerah tersebut dikenal dengan nama Sawe Rangsasa.
Sementara itu, Danghyang Dwijendra
membangun kembali pura yang encak tersebut dan melanjutkan kembali perjalanan. Lama-kelamaan pura tersebut dikenal dengan nama Pura Encak atau Purancak atau Perancak. Di
pura inilah umat Hindu melakukan pemujaan untuk Danghyang Dwijendra.
Utama Mandala Dhangkahyangan Gede Perancak |
Pura Perancak merupakan pusat Pura Dang
Khayangan di Bali.
''Di sinilah pertama kali Danghyang
Dwijendra mendarat dan mulai melakukan perjalanan. Bisa
dikatakan mulai dari Pura Perancak-lah cikal bakal Pura Dang Kahyangan di
Bali,'' tandas Mangku Gede yang didampingi Mangku Istri Ni Ketut Sodri.
Sepengetahuan Mangku Gede, sudah dua kali dilaksanakan upacara Ngenteg Linggih di pura ini. Ngenteg
linggih yang terakhir dilaksanakan sekitar delapan tahun silam usai pemugaran
utama mandala.
Sebelumnya utama mandala berada di
madya mandala yang sekarang. Karena lokasi kecil
dan umat yang datang terus bertambah, areal pura pun diperluas. Rencananya, madya mandala juga akan mengalami perbaikan.
Di utama mandala terdapat bangunan pelinggih Ratu Nyoman, pengayatan Besakih, pelinggih Batara Perancak, Meru Tumpang Tiga, Dewa Ayu Melanting, Padmasana, Gedong, Taksu dan Pengaruman. Di bagian depan utama terdapat tiga kori dan sepasang patung buaya kuning dan hitam. Buaya
ini dipercayai sebagai kendaraan Ida Batara. (wah)
Mohon Keselamatan jika Bepergian Jauh
PURA Perancak terletak di pinggir laut, kira-kira 19 km dari dari kota Negara. Pengemong
Pura Dang Kahyangan Gede Perancak ini terdiri atas tujuh desa yakni Perancak,
Yeh Kuning, Sangkaragung, Budeng, Dauhwaru, Batuagung dan Dangin Tukadaya. Setiap
enam bulan sekali ketujuh desa ini secara bergantian melakukan piodalan.
Para pemangku dari semua desa ini juga
ngayah saat piodalan.
Sehari-harinya, selain Mangku Gede dan Mangku Istri, di pura ini juga
ada Mangku Alit Nyoman Sena dan Ni Ketut Mudri.
Pada saat piodalan, umat yang datang
tidak hanya dari tujuh desa itu saja. Umat dari seluruh
Bali dan yang ada di luar Bali juga berdatangan. Sebelum bersembahyang
di pura, umat biasanya sembahyang dulu di pelinggih Tri Kona yang ada di sebelah
barat.
Persembahyangan di pelinggih ini
diartikan sebagai penyucian sebelum memasuki utama mandala.
Keberadaan pelinggih Tri Kona ini,
menurut Mangku Gede, berawal dari aktivitas para menega atau nelayan Desa
Perancak.
Sebelum berangkat melaut, mereka mengaturkan
bakti memohon keselamatan dan mendapat banyak rezeki. Agar
lebih mudah, mereka pun membuat pengayatan. Dengan menganturkan
canang, para menega ini bersembahyang mohon keselamatan.
Hal ini pun dipercayai umat yang bukan
menega.
Setiap akan melakukan perjalanan jauh, mereka bersembahyang di Pura Perancak. ''Umat yang akan berangkat jauh apakah ke luar Bali atau ke luar negeri biasanya sembahyang. Mereka mohon keselamatan selama perjalanan dan mohon tuntunan Ida Batara,'' jelas Ni Ketut Sondri seraya menyebut warga Jembrana yang akan ke Jepang untuk bekerja juga sembahyang ke Pura Perancak.
Selain itu, petani dan subak juga pedek tangkil
ke pura yang berada di tepian muara ini. Mereka datang untuk memohon agar hasil pertanian bisa lebih baik dan tidak ada hama yang mengganggu tanaman mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar