TIGA KERANGKA DASAR AGAMA
HINDU
Achedya tak terlukai oleh senjata
Adahya tak terbakar oleh api
Akledya tak terkeringkan oleh angin
Acesyah tak terbasahkan oleh air
Nitya abadi
Sarwagatah di mana- mana ada
Sthanu tak berpindah- pindah
Acala tak bergerak
Sanatana selalu sama
Awyakta tak dilahirkan
Acintya tak terpikirkan
Awikara tak berubah dan sempurna tidak laki- laki ataupun
perempuan.
RITUAL / YADNYA
Pengertian
Ajaran
Agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan "Tiga
Kerangka Dasar", di mana bagian yang satu dengan lainnya saling isi
mengisi dan merupakan satu kesatuan yang bulat untuk dihayati dan diamalkan
guna mencapai tujuan agama yang disebut Jagadhita dan Moksa.
Tiga
Kerangka Dasar tersebut adalah:
1.
Tattwa
/ Filsafat
2.
Susila
/ Etika
3.
Upacara
/ Ritual
TATTWA
Sebenarnya
agama Hindu mempunyai kerangka dasar kebenaran yang sangat kokoh karena masuk
akal dan konseptual. Konsep pencarian kebenaran yang hakiki di dalam Hindu
diuraikan dalam ajaran filsafat yang disebut Tattwa. Tattwa dalam agama Hindu
dapat diserap sepenuhnya oleh pikiran manusia melalui beberapa cara dan pendekatan
yang disebut Pramana. Ada
3 (tiga) cara penyerapan pokok yang disebut Tri Pramana.
Tri Pramana ini, menyebabkan akal budi dan pengertian manusia dapat menerima
kebenaran hakiki dalam tattwa, sehingga berkembang menjadi keyakinan dan
kepercayaan. Kepercayaan dan keyakinan dalam Hindu disebut dengan sradha. Dalam
Hindu, sradha disarikan menjadi 5 (lima)
esensi, disebut Panca Sradha.
Berbekal
Panca Sradha yang diserap menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan hidup seorang
Hindu menuju ke satu tujuan yang pasti. Ke arah kesempurnaan lahir dan batin
yaitu Jagadhita dan Moksa. Ada
4 (empat) jalan yang bisa ditempuh, jalan itu disebut Catur Marga.
Demikianlah
tattwa Hindu Dharma. Tidak terlalu rumit, namun penuh kepastian. Istilah-
istilah yang disebutkan di atas janganlah dianggap sebagai dogma, karena dalam
Hindu tidak ada dogma. Yang ada adalah kata- bantu yang telah disarikan dari
sastra dan veda, oleh para pendahulu kita, agar lebih banyak lagi umat yang
mendapatkan pencerahan, dalam pencarian kebenaran yang hakiki.
Tri Pramana
Dalam
ajaran agama Hindu terdapat konsepsi ajaran yang disebut Tri Pramana.
"Tri" artinya tiga, "Pramana" artinya jalan, cara, atau
ukuran. Jadi Tri Pramana adalah tiga jalan/ cara untuk mengetahui hakekat
kebenaran sesuatu, baik nyata maupun abstrak yang meliputi:
·
Agama
Pramana adalah suatu
ukuran atau cara yang dipakai untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan
mempercayai ucapan- ucapan kitab suci, karena sering mendengar petuah- petuah
dan ceritera para guru, Resi atau orang- orang suci lainnya.
·
Anumana
Pramana adalah cara atau ukuran untuk mengetahui dan meyakini sesuatu
dengan menggunakan perhitungan logis berdasarkan tanda- tanda atau gejala-
gejala yang dapat diamati. Dari tanda- tanda atau gejala- gejala itu ditarik
suatu kesimpulan tentang obyek yang diamati tadi. Cara menarik kesimpulan
adalah dengan dalil sebagai berikut: YATRA YATRA
DHUMAH, TATRA TATRA WAHNIH Di mana ada
asap di sana
pasti ada api
·
Pratyaksa
Pramana adalah cara untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan cara
mengamati langsung terhadap sesuatu obyek, sehingga tidak ada yang perlu
diragukan tentang sesuatu itu selain hanya harus meyakini.
PANCA SRADHA
Hindu
seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme
karena memuja banyak Dewa,
namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri.
Tuhan itu Maha Esa, tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Advaita Vedanta
menegaskan bahwa, hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang
ada (Brahman),
yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Dalam
Agama Hindu ada lima
keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha.
Panca Sradha merupakan keyakinan dasar
umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
- Widhi Tattwa percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
- Atma Tattwa percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
- Karmaphala percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan
- Punarbhawa percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
- Moksha percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia
1. Widhi Tattwa
Widhi Tattwa merupakan konsep
kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dalam pandangan Hinduisme. Agama Hindu yang berlandaskan Dharma menekankan
ajarannya kepada umatnya agar meyakini dan mengakui keberadaan Tuhan yang Maha
Esa. Dalam filsafat Advaita Vedānta dan dalam kitab Veda, Tuhan diyakini
hanya satu namun orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama. Dalam agama
Hindu, Tuhan disebut Brahman. Filsafat tersebut juga enggan untuk mengakui bahwa Dewa-Dewi
merupakan Tuhan tersendiri atau makhluk yang menyaingi derajat Tuhan.
Brahman adalah
penguasa tertinggi dalam konsep ketuhanan Hindu. Brahman
bersifat kekal, imanen, tak terbatas, tak berawal dan tak berakhir juga
menguasai segala bentuk, ruang, waktu, energi serta jagat raya dan segala isi yang ada didalamnya.
Agama Hindu mendidik umatnya untuk yakin akan adanya kemahaagungan
Sang Hyang Widhi Wasa. Tuhan merupakan sumber segala yang ada di alam ini baik
yang tampak nyata maupun yang abstrak (sekala - niskala).
- Tuhan adalah Maha Kuasa dan Esa yang menguasai segala aspek alam semesta baik Bhur, Bhuwah, dan Swah yang ( Prabu Sakti )
- Tuhan berada di mana- mana dan mengatasi segala keadaan, ada tanpa diadakan atau ada karena mengadakan dirinya sendiri (Wibhu Sakti),
- Maha Pencipta (Krya Sakti),
- Maha Mengetahui segala- galanya (Jnana Sakti).
Keempat Ke-Maha Kuasa-an Tuhan ini sering disebut sebagai Cadu Sakti atau Catur Sakti.
Sifat
– Sifat Tuhan / Brahman
Di dalam kitab Wrhaspatitattwa terdapat keterangan tentang sifat-
sifat Tuhan yang disebut Asta Sakti atau Astaiswarya yang artinya delapan sifat
kemahakuasaan Tuhan. Tertuang dalam salah satu slokanya yaitu sloka 14 :
Anima laghimascaiwa mahima praptirewaca prakamyan ca isitwam ca
wasistwam yatrakama wasa yitwam
- Anima, "Anu" yang berarti "atom". Anima dari Astaiswarya, ialah sifat yang halus bagaikan kehalusan atom yang dimiliki oleh Sang Hyang Widhi Wasa.
- Laghima, Laghima berasal dari kata "Laghu" yang artinya ringan. Laghima berarti sifat- Nya yang amat ringan lebih ringan dari ether.
- Mahima, Mahima berasal dari kata "Maha" yang berarti Maha Besar, di sini berarti Sang Hyang Widhi Wasa meliputi semua tempat. Tidak ada tempat yang kosong (hampa) bagi- Nya, semua ruang angkasa dipenuhi.
- Prapti, Prapti berasal dari "Prapta" yang artinya tercapai. Prapti berarti segala tempat tercapai oleh- Nya, ke mana Ia hendak pergi di sana Ia telah ada.
- Prakamya, berasal dari kata "Pra Kama" berarti segala kehendak- Nya selalu terlaksana atau terjadi.
- Isitwa, berasal dari kata "Isa" yang berarti raja, Isitwa berarti merajai segala- galanya, dalam segala hal paling utama.
- Wasitwa, berasal dari kata "Wasa" yang berarti menguasai dan mengatasi. Wasitwa artinya paling berkuasa.
- Yatrakamawasayitwa berasal dari kata "Wasa" yang berarti menguasai dan mengatasi. Wasitwa artinya paling berkuasa.

Sloka :
sarvataḥ pāṇi-pādaṁ tat sarvato
‘kṣi-śiro-mukham,
sarvataḥ
śrutimal loke sarvam āvṛtya tiṣṭhati
Arti
:
Beliau memiliki tangan, kaki, mata,
kepala, dan muka yang berada dimana-mana, dan Beliau
memiliki telinga di segala penjuru. Ia berada dalam segala sesuatu dan meliputi
alam semesta
Sloka :
sarvendriya-guṇābhāsaṁ sarvendriya-vivarjitam,
asaktaṁ
sarva-bhṛc caiva nirguṇam guna-bhoktṛ ca
Arti :
Beliau
sumber asli segala indria, namun tanpa memiliki indria. Beliau tidak terikat,
walau Beliau memelihara semua makhluk.
Beliau melampaui sifat-sifat alam, dan pada waktu yang sama Beliau adalah
penguasa semua sifat alam material
Sloka :
baḥir antaś ca
bhūtānām acaraṁ caram eva ca, sūkṣmatvāt tad
avijñeyaṁ dūra-sthaṁ cāntike ca tat
Arti
:
Beliau berada di luar dan di dalam
segala insan, tidak bergerak namun senantiasa bergerak, Beliau di luar daya
pemahaman indria material. Beliau amat jauh, namun juga begitu dekat kepada semua makhluk
Sloka :
avibhaktaṁ ca bhūteṣu vibhaktam
iva ca sthitam, bhūta-bhartṛ ca taj jñeyaṁ grasiṣṇu prabhaviṣṇu ca
Arti
:
Walaupun Beliau terbagi di antara
insani, namun Beliau tidak dapat dibagi. Beliau mantap sebagai Yang Maha
Tunggal. Beliau pemelihara segala makhluk, dan Beliau menciptakan sekaligus
memusnahkan mereka
Sloka :
jyotiṣām api taj
jyotis tamasah param ucyate, jñānaṁ jñeyaṁ jñāna-gamyaṁ hṛdi sarvasya viṣṭhitam
Arti
:
Beliau adalah sumber dari segala
benda yang bercahaya. Baliau di luar kegelapan alam dan tidak terwujud. Beliau adalah pengetahuan dan tujuan pengetahuan.
Beliau bersemayam di dalam hati sanubari segala makhluk
2. Ātmā Tattwa
Atma
tattwa merupakan kepercayaan bahwa terdapat jiwa dalam setiap makhluk hidup.
Dalam ajaran Hinduisme, jiwa yang terdapat dalam makhluk hidup merupakan
percikan yang berasal dari Tuhan dan disebut “Jiwatma”. Jiwatma
bersifat abadi, namun karena terpengaruh oleh badan manusia yang bersifat
“Maya”, maka Jiwatma tidak mengetahui asalnya yang sesungguhnya. Keadaan itu
disebut “Awidya”. Hal tersebut mengakibatkan Jiwatma mengalami proses reinkarnasi
berulang-ulang. Namun proses reinkarnasi tersebut dapat diakhiri apabila
Jiwatma mencapai moksha
Atman atau Atma dalam ajaran Hindu merupakan
percikan kecil dari Brahman yang berada di dalam setiap makhluk hidup. Atman di
dalam badan manusia disebut: Jiwatman atau jiwa atau roh yaitu yang
menghidupkan manusia.
Demikianlah atman itu menghidupkan sarwa prani (makhluk di alam semesta ini). Indria
tak dapat bekerja bila tak ada atman. Misalnya telinga tak dapat mendengar bila
tak ada atman, mata tak dapat melihat bila tak ada atman, kulit tak dapat
merasakan bila tak ada atman. Atman itu berasal dari Brahman, bagaikan matahari dengan
sinarnya. Brahman
sebagai matahari dan atma-atma sebagai sinar-Nya yang terpencar memasuki dalam
hidup semua makhluk.
Atma
tidak dapat menjadi subyek atau obyek dan tindakan atau pekerjaan. Atma tidak
terpengaruh akan perubahan-perubahan yang dijalani maupun dialami pikiran,
hidup dan jasad atau badan jasmani. Badan jasmani bisa berubah, lahir, mati,
datang dan pergi, namun Atma tetap langgeng untuk selamanya.
Sifat –sifat
Atman
3. Karmaphala
Agama
Hindu mengenal “hukum sebab-akibat” yang disebut Karmaphala.
Berasal dari kata karma = perbuatan dan phala = buah/hasil. Karmapala menjadi
salah satu keyakinan dasar. Dalam ajaran Karmaphala, setiap perbuatan manusia
pasti membuahkan hasil (baik atau buruk). Ajaran Karmaphala sangat erat
kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi,
karena dalam ajaran Karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun duka)
disebabkan karena hasil perbuatan manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan
pada saat ia menjalani hidup maupun apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani
kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan
nasib baik/buruk yang akan ia jalani sementara Tuhan yang menentukan
kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun setelah reinkarnasi).
Berdasarkan
dari hasilnya dan waktu penentuannya Karmapala dibagi menjadi tiga. Ketiga
jenis pembagiannya adalah sebagai berikut :
·
Sancitha
Karmapala = perbuatan pada kehidupan lampau kita terima
saat ini
·
Prarabda
Karmapala
= perbuatan sekarang kita terima sekarang
·
Kryamana
Karmapala
= perbuatan sekarang kita terima pada kehidupan mendatang.
Dengan
pengertian tiga macam Karmaphala itu maka jelaslah, cepat atau lambat, dalam
kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima
karena sudah merupakan hukum. Karmaphala mengantarkan roh (atma) masuk Surga
atau masuk neraka. Bila dalam hidupnya selalu berkarma baik maka pahala yang
didapat adalah Surga, sebaliknya bila hidupnya itu selalu berkarma buruk maka
hukuman nerakalah yang diterimanya. Dalam pustaka- pustaka dan ceritera-
ceritera keagamaan dijelaskan bahwa Surga artinya alam atas, alam suksma, alam
kebahagiaan, alam yang serba indah dan serba mengenakkan. Neraka adalah alam
hukuman, tempat roh atau atma mendapat siksaan sebagai hasil dan perbuatan
buruk selama masa hidupnya. Selesai menikmati Surga atau neraka, roh atau atma
akan mendapatkan kesempatan mengalami penjelmaan kembali sebagai karya
penebusan dalam usaha menuju Moksa.
4. Punarbhawa ( Samsara )
Wahai Arjuna, kamu dan Aku telah lahir berulang- ulang
sebelum ini, hanya Aku yang tahu sedangkan kamu tidak, kelahiran sudah tentu
akan diikuti oleh kematian dan kematian akan diikuti oleh kelahiran
Punarbhawa ( dari kata
Punar = sirna, mati & kata Bhawa = lahir kembali. Merupakan keyakinan bahwa
manusia mengalami reinkarnasi.
Dalam ajaran Punarbhawa, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil
perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Apabila manusia tidak sempat
menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk
menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses
reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya (baik
atau buruk) yang belum sempat dinikmati. Proses reinkarnasi diakhiri apabila
seseorang mencapai kesadaran tertinggi (moksha).
Reinkarnasi (dari bahasa
Latin untuk "lahir kembali" atau "kelahiran semula"[1])
atau t(um)itis, merujuk kepada kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati
dan dilahirkan kembali ke bumi ini. Terdapat dua aliran utama yaitu mereka yang
mempercayai bahwa manusia akan kembali kekal lahir kembali dan mereka yang
mempercayai bahwa manusia akan berhenti lahir semula pada suatu ketika apabila
mereka melakukan kebaikan yang mencukupi atau apabila mendapat kesadaran agung
(Nirvana) atau
menyatu dengan Tuhan
(moksha),
contohnya ajaran Buddha
dan Hindu.
Reinkarnasi dalam Hinduisme
Dalam
agama
Hindu, filsafat reinkarnasi mengajarkan manusia untuk sadar terhadap
kebahagiaan yang sebenarnya dan bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang
diterimanya. Selama manusia terikat pada siklus reinkarnasi, maka hidupnya
tidak luput dari duka. Selama jiwa terikat pada hasil perbuatan yang buruk,
maka ia akan bereinkarnasi menjadi orang yang selalu duka. Dalam filsafat
Hindu dan Buddha,
proses reinkarnasi memberi manusia kesempatan untuk menikmati kebahagiaan yang
tertinggi. Hal tersebut terjadi apabila manusia tidak terpengaruh oleh
kenikmatan maupun kesengsaraan duniawi sehingga tidak pernah merasakan duka,
dan apabila mereka mengerti arti hidup yang sebenarnya
Dalam
filsafat agama
Hindu, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan
pada kehidupannya yang terdahulu. Pada saat manusia hidup, mereka banyak
melakukan perbuatan dan selalu membuahkan hasil yang setimpal. Jika manusia
tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi
kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu,
munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil
perbuatannya yang belum sempat dinikmati.
Jadi,
lahir kembali berarti lahir untuk menanggung hasil perbuatan yang sudah
dilakukan. Dalam filsafat ini, bisa dikatakan bahwa manusia dapat menentukan
baik-buruk nasib yang ditanggungnya pada kehidupan yang selanjutnya.
Proses reinkarnasi
Pada
saat jiwa lahir
kembali, roh yang utama kekal namun raga kasarlah yang rusak, sehingga roh harus berpindah ke
badan yang baru untuk menikmati hasil perbuatannya. Pada saat memasuki badan
yang baru, roh yang utama membawa hasil perbuatan dari kehidupannya yang
terdahulu, yang mengakibatkan baik-buruk nasibnya kelak. Roh dan jiwa yang
lahir kembali tidak akan mengingat kehidupannya yang terdahulu agar tidak
mengenang duka yang bertumpuk-tumpuk di kehidupan lampau. Sebelum mereka
bereinkarnasi, biasanya jiwa pergi ke sorga atau ke neraka.
Dalam
filsafat agama yang menganut faham reinkarnasi, neraka dan sorga adalah suatu
tempat persinggahan sementara sebelum jiwa memasuki badan yang baru. Neraka
merupakan suatu pengadilan agar jiwa lahir kembali ke badan yang sesuai dengan
hasil perbuatannya dahulu. Dalam hal ini, manusia bisa bereinkarnasi menjadi
makhluk berderajat rendah seperti hewan, dan sebaliknya hewan mampu
bereinkarnasi menjadi manusia. Sidang neraka juga memutuskan apakah suatu jiwa
harus lahir di badan yang cacat atau tidak.
Akhir proses reinkarnasi
Selama
jiwa masih terikat
pada hasil perbuatannya yang terdahulu, maka ia tidak akan mencapai kebahagiaan
yang tertinggi, yakni lepas dari siklus reinkarnasi. Maka, untuk memperoleh
kebahagiaan yang abadi tersebut, roh yang utama melalui badan kasarnya berusaha melepaskan diri
dari belenggu duniawi dan harus mengerti hakikat kehidupan yang sebenarnya.
Jika tubuh terlepas dari belenggu duniawi dan jiwa sudah mengerti makna hidup
yang sesungguhnya, maka perasaan tidak akan pernah duka dan jiwa akan lepas
dari siklus kelahiran kembali. Dalam keadaan tersebut, jiwa menyatu dengan Tuhan (Moksha).
5 Moksha
Dalam
keyakinan umat Hindu, Moksha merupakan suatu keadaan di mana jiwa merasa sangat
tenang dan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya karena tidak terikat lagi
oleh berbagai macam nafsu maupun benda material. Pada saat mencapai keadaan
Moksha, jiwa terlepas dari siklus reinkarnasi sehingga jiwa tidak bisa lagi
menikmati suka-duka di dunia. Moksa
(Sansekerta: mokṣa) adalah
sebuah konsep agama Hindu
dan Buddha.
Artinya ialah kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi atau juga bersatunya
Atman dengan Braman “ Brahman Atman Aikyam”.
Bahunam
janmanam ante jnnanawan mam prapadyate, Wasudewah sarwam iti sa mahatma
sudurlabhah.
Pada akhir dari banyak kelahiran
orang yang bijaksana menuju kepada Aku, karena mengetahui bahwa Tuhan adalah
semuanya yang ada. Bhagavad-Gita VII. 19:
Kebebasan yang sulit dicapai banyak makhluk akan lahir dan mati.
serta hidup kembali tanpa kemauannya sendiri. Akan tetapi masih ada satu yang
tak tampak dan kekal, tiada binasa dikala semua makhluk binasa. Nah, yang tak tampak
dan kekal itulah harus menjadi tujuan utama supaya tidak lagi mengalami
penjelmaan ke dunia, tetapi mencapai tempat Brahman yang tertinggi.
Jika kita selalu ingat kepada Brahman, berbuat demi Brahman maka tak usah disangsikan lagi kita akan kembali kepada Brahman. Untuk mencapai ini orang harus selalu berusaha, berbuat baik sesuai dengan ajaran agamanya. Kitab suci telah menunjukkan bagaimana caranya orang melaksanakan pelepasan dirinya dari ikatan maya agar akhirnya Atman dapat bersatu dengan Brahman (suka tan pawali duka), sehingga penderitaan dapat dikikis habis dan tidak lagi menjelma ke dunia ini sebagai hukuman, tetapi sebagai penolong sesama manusia.
Jika kita selalu ingat kepada Brahman, berbuat demi Brahman maka tak usah disangsikan lagi kita akan kembali kepada Brahman. Untuk mencapai ini orang harus selalu berusaha, berbuat baik sesuai dengan ajaran agamanya. Kitab suci telah menunjukkan bagaimana caranya orang melaksanakan pelepasan dirinya dari ikatan maya agar akhirnya Atman dapat bersatu dengan Brahman (suka tan pawali duka), sehingga penderitaan dapat dikikis habis dan tidak lagi menjelma ke dunia ini sebagai hukuman, tetapi sebagai penolong sesama manusia.
Dalam ajaran agama Hindu terdapat empat jalan untuk mencapai kesempurnaan hidup lahir dan batin (Jagadhita dan Moksa) yang disebut dengan Catur Marga. "Catur" artinya empat, "Marga" artinya jalan.
· Bhakti Marga
· Karma Marga
· Jnana Marga
· Raja Yoga Marga
·
1. Bhakti Marga adalah usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan jalan sujud bakti kepada Tuhan. Dengan sujud dan cinta kepada Tuhan Pelindung dan Pemelihara semua makhluk, maka Tuhan akan menuntun seorang Bhakta, yakni orang yang cinta, bakti dan sujud kepada- Nya untuk mencapai kesempurnaan. Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti ialah rajin menyembah Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas, seperti melaksanakan Tri Sandhya yaitu sembahyang tiga kali dalam sehari, pagi, siang, dan sore hari dan bersembahyang hari suci lainnya.
2.
Karma Marga berarti
jalan atau usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan
melakukan kebajikan, tiada terikat oleh nafsu hendak mendapat hasilnya berupa
kemasyhuran, kewibawaan, keuntungan, dan sebagainya, melainkan melakukan
kewajiban demi untuk mengabdi, berbuat amal kebajikan untuk kesejahteraan umat
manusia dan sesama makhluk.
3.
Jnana Marga ialah suatu
jalan dan usaha untuk mencapai jagadhita dan Moksa dengan
mempergunakan kebijaksanaan filsafat & pengetahuan (Jnana).
4.
Raja Yoga
Marga
ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa melalui
pengabdian diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa yaitu mulai berlangsung dan
berakhir pada konsentrasi. Dalam arti yang lebih luas yoga ini mengandung
pengertian tentang pengekangan diri. Dengan pengendalian diri yang ketat, tekun
dalam yoga, maka persatuan Atman dengan Brahman akan tercapai.
SUSILA / ETIKA HINDU
Pengertian
Etika dalam Hindu
Kata
Susila terdiri dari dua suku kata: "Su" dan "Sila".
"Su" berarti baik, indah, harmonis. "Sila" berarti
perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik
terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan
lingkungannya.
Pengertian
Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik
yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta
(lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya),
keikhlasan dan kasih sayang. Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada
ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau) mengandung makna bahwa hidup
segala makhluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan
sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa
sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali
bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam hubungan ajaran susila beberapa aspek
ajaran sebagai upaya penerapannya sehari- hari diuraikan lagi secara lebih
terperinci.
1.
Tri
Kaya Parisudha
2.
Catur
Paramitha
3.
Panca
Yama & Nyama Brata
4.
Tri
Mala
5.
Sad
Ripu
6.
Catur
Asrama
7.
Catur
Purusa Artha
8.
Catur
Warna
9.
Catur
Guru
Tri Kaya
Parisudha
Tri
Kaya Parisudha adalah tiga jenis perbuatan yang merupakan landasan ajaran Etika
Agama Hindu yang dipedomani oleh setiap individu guna mencapai kesempurnaan dan
kesucian hidupnya, meliputi:
1.
Manacika : berpikir yang baik - Tidak sekali-
kali mengingini sesuatu yang bukan haknya. Tidak berpikir / berprasangka buruk terhadap orang
/ makhluk lain. Tidak mengingkari hukum Karmaphala
2.
Wacika : berkata yang baik “Tan wak parusnya”/ “Tan ujar ala” (Tidak suka
mencaci maki ), “Tan ujar mageleng”/ “Tan
ujar aprigas” (Tidak suka berkata kasar) “Tan raja pisuna” / “Tan ujar pisuna”
( Tidak suka memfitnah “Tan mitya macana”/ “Tan ujar mitya” ( Tidak ingkar pada
janji)
3.
Kayika : berbuat yang baik – tidak
melakukan perbuatan yang dilarang agama.
Pada
hakekatnya hanya dari adanya pikiran yang benar akan menimbulkan perkataan yang
benar sehingga mewujudkan perbuatan yang benar pula. Dengan ungkapan lain
adalah satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan. (satya hrdaya, satya wacana
dan satya laksana)
Catur
Paramitha
Adalah
empat sifat yang sangat mulia diantaranya :
1.
Maitri : sifat
suka menolong orang lain yang dalam kesusahan dengan ikhlas
2.
Karuna : sifat
kasih sayang dan cinta kepada sesama tanpa meminta balasan
3.
Mudita :
sifat simpatik dan ramah tamah menghormati oang lain dengan tulus
4.
Upeksa : sifat mawas diri,
tepa salira, bisa menempatkan diri, rendah hati
Panca
Yama Bratha
Panca
Yama Brata adalah lima
jenis pengekangan diri berdasarkan atas upaya menjauhi larangan agama sebagai
norma kehidupan sebagai berikut:
- Ahimsa : kasih kepada makhluk lain, tidak membunuh atau menganiaya
- Brahmacari : berguru dengan sungguh- sungguh
- Satya : setia, pantang ingkar kepada janji
- Awyawaharika :cinta kedamaian, tidak suka bertengkar dan mengumbar bicara yang tidak bermanfaat
- Astenyaj : jujur, pantang melakukan pencurian
Panca Niyama Brata
Panca
Niyama Brata adalah lima
jenis pengekangan diri berdasarkan atau tunduk (mengikuti) peraturan Dharma
yang telah ditentukan, sebagai berikut
- Akrodha : Tidak dikuasai oleh nafsu kemarahan
- Guru Susrusa : Hormat dan taat kepada guru serta patuh pada ajaran- ajarannya
- Sauca : Senantiasa menyucikan diri lahir batin
- Aharalagawa : Pengaturan makan (makanan bergizi) dan tidak hidup berfoya- foya/ boros
- Apramada : Tidak menyombongkan diri dan takabur.
Tri
Mala
3
sifat buruk yang dapat meracuni budi manusia yang harus diwaspadai dan diredam
sampai sekecil- kecilnya. Trimala merupakan tiga
jenis kekotoran dan kebatilan jiwa manusia akibat pengaruh negatif dan nafsu
yang sering tidak dapat terkendalikan dan sangat bertentangan dengan etika
kesusilaan. Trimala patut diwaspadai dan diredam, karena ia akan menghancurkan
hidup, meliputi:
- Mithya hrdya : berperasaan dan berpikiran buruk
- Mithya wacana : berkata sombong, angkuh, tidak menepati janji
- Mithya laksana : berbuat yang curang / culas / licik (merugikan orang lain)
Sad
Ripu
Sad
Ripu adalah enam musuh di dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang
mengakibatkan ketidakstabilan emosi. Sad Ripu terdiri dari:
1.
Kama :hawa nafsu yang tidak
terkendalikan
2.
Lobha :kelobaan (ketamakan), ingin selalu
mendapatkan yang lebih
3.
Krodha :kemarahan yang melampaui
batas (tidak terkendalikan)
4.
Mada :kemabukan yang membawa kegelapan pikiran.
5.
Moha :kebingungan/ kurang mampu berkonsentrasi sehingga akibatnya individu tidak dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna.
6.
Matsarya :iri hati/ dengki yang menyebabkan permusuhan.
Catur
Asrama
4
tingkat kehidupan manusia dalam agama Hindu, disesuaikan dengan tahapan-
tahapan jenjang kehidupan yang mempengaruhi prioritas kewajiban menunaikan
dharmanya.
Menurut agama Hindu pembagian tingkat kehidupan manusia sesuai
dengan sistem Catur Asrama, ialah sebagai berikut:
- Brahmacari Asrama adalah tingkat kehidupan berguru/ menuntut ilmu. Setiap orang harus belajar (berguru). Diawali dengan upacara Upanayana dan diakhiri dengan pengakuan dengan pemberian Samawartana/ Ijazah.
- Grehasta Asrama adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam masa ini penggunaan Artha dan Kama sangat penting artinya dalam membina kehidupan keluarga yang harmonis dan manusiawi berdasarkan Dharma.
- Wanaprastha Asrama adalah tingkat kehidupan ketiga dengan menjauhkan diri dari nafsu- nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma.
4.
Sanyasin (bhiksuka) Asrama
adalah merupakan tingkat kehidupan di mana pengaruh dunia sama sekali lepas.
Yang diabdikan adalah nilai- nilai dari keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang
benar. Pada masa ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirtha yatra) ke
tempat suci, di mana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada Sang Hyang
Widhi Wasa untuk mencapai Moksa.
Catur
Purusa Artha
4
( Empat ) dasar tujuan hidup manusia
Agama Hindu memberikan tempat yang utama terhadap ajaran tentang
dasar dan tujuan hidup manusia. Dalam ajaran Agama Hindu ada suatu sloka yang
berbunyi: "Moksartham Jagadhita ya ca iti dharmah", yang
berarti bahwa tujuan beragama adalah untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan
ketentraman batin (kedamaian abadi). Ajaran tersebut selanjutnya dijabarkan
dalam konsepsi Catur Purusa Artha atau Catur Warga yang berarti empat dasar dan
tujuan hidup manusia, yang terdiri dari:
1.
Dharma
: merupakan kebenaran absolut yang mengarahkan manusia untuk berbudi pekerti
luhur sesuai dengan ajaran agama yang menjadi dasar hidup. Dharma itulah yang
mengatur dan menjamin kebenaran hidup manusia.
2.
Artha
: adalah kekayaan dalam bentuk materi/ benda- benda duniawi yang merupakan
penunjang hidup manusia. Pengadaan dan pemilikan harta benda sangat mutlak
adanya, tetapi yang perlu diingat agar kita jangan sampai diperbudak oleh nafsu
keserakahan yang berakibat mengaburkan wiweka (pertimbangan rasional) tidak
mampu membedakan salah ataupun benar. Artha perlu diamalkan (dana punia) bagi
kepentingan kemanusiaan (fakir miskin, cacat, yatim piatu, dan lain- lain)
3.
Kama : adalah keinginan
untuk memperoleh kenikmatan (wisaya). Kama
berfungsi sebagai penunjang hidup yang bersifat tidak kekal. Manusia dalam
hidup memiliki kecenderungan untuk memuaskan nafsu, tetapi sebagai makhluk
berbudi ia mampu menilai perilaku mana yang baik dan benar untuk diterapkan.
4.
Moksa
: adalah kelepasan, kebebasan atau kemerdekaan (kadyatmikan atau Nirwana)
manunggalnya hidup dengan Pencipta (Sang Hyang Widhi Wasa) sebagai tujuan
utama, tertinggi, dan terakhir, bebasnya Atman dan pengaruh maya serta ikatan
subha asubha karma (suka tan pawali duka).
Catur
Warna
Catur
Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan
berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang.
Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari
kata ''Catur" berarti empat dan kata "warna" yang berasal
dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat
pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat
(guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki
sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya
dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat
golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana,
Ksatrya, Wesya, dan Sudra.
1.
Brahmana
: disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam
masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya
di bidang kerohanian keagamaan.
2.
Ksatria
: disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat
yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang
kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
3.
Waisya
: disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam
masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang
kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).
4.
Sudra
: disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat
yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan.
Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa
pelaksanaan sistem Catur Warna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang
tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah. Pada hal Catur Warna
menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan
Turunan darah yang identik dengan Kasta.
Kata "Kasta" berasal dari bahasa Portugis "Caste"
yang berarti pemisah, tembok, atau batas. Timbulnya istilah kasta dalam
masyarakat Hindu adalah karena adanya proses sosial (perkembangan masyarakat)
yang mengaburkan pengertian warna. Pengaburan pengertian warna ini melahirkan
tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang di masyarakat berdasarkan
kelahiran dan status keluarganya.
Istilah "kasta" tidak diatur di dalam kitab suci Weda.
Kata "Kasta" itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti
"kayu".
Diluar
keempat golongan diatas, ada golongan lain, yaitu Paria, golongan orang-orang
yang terbuang atau penjahat.
Catur
Guru
4 kepribadian yang harus dihormati
oleh setiap orang Hindu.
Untuk mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam
masyarakat Hindu tidak terlepas dari disiplin dalam setiap tingkah laku kita
sehari- hari lebih- lebih terhadap catur kang Sinangguh Guru. Kata Guru
dalam bahasa Sanskerta berarti berat. Dalam Agama Hindu ada 4 yang dianggap
guru adalah:
1.
Guru
Swadyaya : Tuhan yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai guru sejati maha
guru alam semesta atau Sang Hyang Paramesti guru. Agama dan ilmu pengetahuan
dengan segala bentuknya adalah bersumber dari beliau. SARWAM IDAM KHALUBRAHMAN
(segala yang ada tidak lain dari Brahman). Demikian disebutkan dalam kitab
Upanishad
2.
Guru
Wisesa : Wisesa dalam bahasa Sanskerta berarti purusa/ Sangkapurusan
yaitu pihak penguasa yang dimaksud adalah Pemerintah. Pemerintah adalah guru
dan masyarakat umum yang berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa dan
memberikan kesejahteraan material dan spiritual.
3.
Guru
Pengajian : Guru Parampara. Guru di sekolah yang telah benar- benar sepenuh
hati dan ikhlas mengabdikan diri untuk mendidik serta mencerdaskan kehidupan
Bangsa.
4.
Guru
Rupaka : Orang yang melahirkan (orang tua), tanpa orang tua kita tak
akan ada oleh karena itu betapa besarnya jasa- jasa orang tua dalam membimbing
putra- putranya untuk melahirkan putra yang baik (suputra).
Pengertian
Yadnya
adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa/
rohani dalam kehidupan ini berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu
yang ada (Weda). Yadnya dapat pula diartikan memuja, menghormati, berkorban,
mengabdi, berbuat baik (kebajikan), pemberian, dan penyerahan dengan penuh
kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta
kesempurnaan hidup bersama dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Di dalamnya terkandung nilai- nilai:
Di dalamnya terkandung nilai- nilai:
- Rasa tulus ikhlas dan kesucian.
- Rasa bakti dan memuja (menghormati) Sang Hyang Widhi Wasa, Dewa, Bhatara, Leluhur, Negara dan Bangsa, dan kemanusiaan.
- Di dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan masing- masing menurut tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra).
- Suatu ajaran dan Catur Weda yang merupakan sumber ilmu pengetahuan suci dan kebenaran yang abadi.
Pembagian
Yadnya
Menurut
Tingkatannya :
Di dalam menghayati serta mengamalkan ajaran agama, maka
pelaksanaan Yadnya dilakukan secara bertingkat sesuai dengan kemampuan umat
masing- masing. Adapun bentuk pelaksanaan Yadnya itu adalah sebagai berikut:
- Dalam
bentuk pemujaan (sembah, kebaktian) ditujukan kepada:
a) Sang Hyang Widhi Wasa.
b) Para Dewa/ Dewi yang merupakan manifestasi kemahakuasaan- Nya.
c) Para Bhatara/ Bhatari, Leluhur. - Dalam
bentuk penghormatan ditujukan kepada:
a) Pemerintah/ Pejabat Pemerintah.
b) Orang- orang yang lebih tua atau yang berkedudukan lebih tinggi.
c) Orang- orang yang berjasa dan para tamu.
d) Makhluk- makhluk yang nampak dan tidak nampak yang lebih rendah derajatnya daripada manusia.
Adapun bentuk rasa hormat yang kita berikan itu adalah tanpa merendahkan martabat diri sendiri, akan tetapi didasarkan atas keikhlasan, ketulusan, dan kerendahan hati dan prinsip saling hormat menghormati, harga menghargai, percaya mempercayai satu dengan yang lain. - Dalam bentuk pengabdian, baik kepada keluarga, masyarakat, Negara, Bangsa, Tanah Air, dan kemanusiaan. Pengabdian yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa adalah merupakan pengabdian yang tertinggi nilainya. Pengabdian kepada keluarga (anak-istri), masyarakat, Negara, Bangsa, Tanah Air dan kemanusiaan itu, satu dengan yang lainnya saling berkaitan.
- Dalam bentuk cinta dan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup, terutama dalam keadaan melarat, menderita, terkena bencana/ malapetaka, di mana kemauan dan tindakan suka serta ikhlas berkorban sangat berperan di dalam bentuk cinta dan kasih sayang ini, demi kebahagiaan bersama dan kesempurnaan hidup.
- Dalam bentuk pengorbanan di mana pengorbanan benda, tenaga, pikiran, jiwa dan raga dapat diberikan demi menjunjung tinggi cita- cita yang mulia dan luhur, baik dalam hubungan dharma kepada negara maupun kepada agama (Dharmaning Negara dan Dharmaning Agama).
Dari kelima bentuk pelaksanaan yadnya tersebut dapat disimpulkan
bahwa arti yadnya itu sangat luas dalam hubungannya dengan pelaksanaan dharma,
bukan saja terbatas pada pelaksanaan Panca Yadnya ataupun pelaksanaan dari
berbagai bentuk upacara- upacara yang menggunakan sarana ataupun yang tanpa
menggunakan sarana.
Dalam pelaksanaan Upacara Yadnya ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
- Adanya kebersihan tempat/ bangunan suci serta sarana upacara.
- Adanya keseragaman pelaksanaan Upacara Yadnya.
- Ketertiban.
- Bahan- bahan Upacara Yadnya yang terdapat di daerah setempat, agar tidak terhalang karena tidak adanya sesuatu alat tertentu.
Menurut
Jenisnya
Yadnya menurut jenis bisa di bagi menjadi lima yang disebut Panca Yadnya
1. Dewa Yadnya.
Ialah
suatu korban suci/ persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh
manifestasi- Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu
selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada
asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya
(bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta Muspa (kebaktian dan pemujaan di
tempat- tempat suci). Korban suci tersebut dilaksanakan pada hari- hari suci,
hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun (Pawedalan) ataupun hari- hari
raya lainnya seperti: Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya Saraswati,
Hari Raya Nyepi dan lain- lain.
2.
Pitra Yadnya
lalah
suatu korban suci/ persembahan suci yang ditujukan kepada Roh- roh suci dan
Leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan
menyelenggarakan upacara Jenasah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai
tahap terakhir yang disebut Atma Wedana. Hal tersebut dilaksanakan atas
kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orangtuanya
(leluhur) seperti:
- Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
- Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
- Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.
3.
Manusa Yadnya
.Adalah
suatu korban suci demi kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaannya
dapat berupa Upacara Yadnya ataupun selamatan, di antaranya ialah:
- Upacara selamatan (Jatasamskara/ Nyambutin) guna menyambut bayi yang baru lahir.
- Upacara selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur 3 bulan (105 hari).
- Upacara selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton/ weton).
- Upacara perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala/ Citra Wiwaha/ Widhi-Widhana.
- Resi Yadnya. Adalah suatu Upacara Yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang- orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:
- Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
- Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.
- Menghaturkan/ memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
- Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
- Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.
5.
Bhuta Yadnya. Adalah suatu korban suci/
pengorbanan suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk- makhluk rendahan, baik yang
terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang),
tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang
Hyang Widhi Wasa. Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa:
Upacara Yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/ alam
semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan
tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan
diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.
Di
dalam pelaksanaan yadnya biasanya seluruh unsur- unsur Panca Yadnya telah
tercakup di dalamnya, sedangkan penonjolannya tergantung yadnya mana yang
diutamakan.
Menurut
Waktu Pelaksanaannya
Menurut ketentuan waktu pelaksanaan Yadnya, umat Hindu mengenal dua
jenis Yadnya yang disebut dengan istilah:
- Nitya Karma Yadnya. Yaitu Yadnya yang dilaksanakan tiap- tiap hari. Contoh: Tri Sandhya, Memberi suguhan Yadnya Sesa (Ngejot/ Saiban).
- Naimittika Karma Yadnya.Yaitu Yadnya yang diseleng- garakan pada waktu- waktu tertentu. Contoh: Upacara Persembahyangan Purnama Tilem, selamatan, Hari Raya, dan sebagainya.
Menurut Cara
Menjalankannya
Panca Marga Yadnya adalah merupakan dasar yang menunjang
pelaksanaan Panca Yadnya.
- Drewya
Yadnya. Adalah
suatu korban suci secara ikhlas dengan menggunakan barang- barang yang
dimiliki kepada orang lain pada waktu, tempat, dan alamat yang tepat, demi
kepentingan dan kesejahteraan bersama, masyarakat, Negara dan Bangsa.
seperti menengok orang sakit, sedekah ke Pendeta, anak yatim. - Tapa
Yadnya. Yaitu
suatu korban suci dengan jalan bertapa, sebagai jalan peneguhan iman di
dalam menghadapi segala jenis godaan agar memiliki ketahanan di dalam
perjuangan hidup serta menyukseskan suatu cita- cita luhur.
Apabila diyakini pelaksanaannya maka akan dicapai apa yang disebut "SATYAM EVA JAYATE" yang berarti hanya kebenaran yang menang pada akhirnya. - Swadyaya Yadnya. Adalah suatu korban suci yang menggunakan sarana "diri sendiri" sebagai kurbannya (Sadhana), yang dilaksanakan dengan tulus ikhlas karena terdorong oleh perasaan kasih sayang yang sangat mendalam, seperti donor darah, menyumbangkan organ tubuh, menyumbangkan pikiran ataupun berjuang demu negara & darma.
- Yoga Yadnya. Adalah suatu korban suci dengan cara menghubungkan diri (menyatukan cipta, rasa, dan karsa) ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa yang sifatnya sangat mendalam, sehingga si pelaksana (Yogin) tersebut benar- benar merasakan bersatu serta manunggal dengan- Nya, mencapai alam kesucian atau Moksa.
- Jnana Yadnya. Jnana Yadnya berarti korban suci yang menyeluruh, yang berintikan dasar pengetahuan dan kesucian. Para Maha Resi terdahulu telah sanggup melaksanakan korban suci Jnana Yadnya ini, karena kesanggupan dan kemampuan beliau mengolah pikiran dengan ilmu pengetahuan kesuciannya itu sehingga mampu untuk menerima wahyu dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar