" Karmamy Eva Dhikaras te; Ma Phalesu Kadacana; Ma Karmaphalahetur Bhur; Ma Te Sango 'Stvakarmani" "Jalankan saja kewajibanmu; Jangan mengharap hasil; Jangan biarkan pahala menjadi motif tindakanmu; Demikian pula jangan biarkan dirimu berdiam diri".

17 Okt 2013

MENGENAL KAHYANGAN 3

Pura Perancak--
Cikal Bakal Dang Kahyangan di Bali

Perancak dikenal sebagai desa nelayan yang ada di pesisir selatan Jembrana. Di desa ini pula terdapat sebuah pura yang diyakini sebagai cikal bakal Pura Dang Kahyangan di Bali. Pura tersebut adalah Pura Dang Kahyangan Gede Perancak. Bagaimana sejarah berdirinya Pura Perancak? Apa saja yang dimohon pemedek saat bersembahyang di pura ini



BERDIRINYA pura ini tidak bisa dilepaskan dari kedatangan Danghyang Dwijendra ke Bali. Hal itu diakui Mangku Gede Nyoman Sadra (65), pemangku di Pura Dang Kahyangan Perancak. Tetapi tahun berapa kedatangan Danghyang Dwijendra ke Bali tidak bisa dipastikan. Perkiraan yang sering dipakai adalah sekitar tahun 1015. Catatan sejarah yang bisa membuktikan ini pun belum ada.
Danghyang Dwijendra berhasil mencapai moksa. Ketika mencapai moksa, semua lontar mengenai beliau juga ikut moksa. ''Kami pun tidak berani memberi kepastian kapan sebenarnya beliau tiba untuk pertama kalinya di Perancak ini,'' jelas Mangku Gede Nyoman Sadra.
Saat tiba pertama kali di Desa Jembrana Pinggir Pantai (sebutan Perancak zaman dulu), Danghyang Dwijendra mengajak istrinya Ida Ayu Mas Keniten dan tujuh putra. Beliau dan keluarga datang dari tanah Belambangan, Jawa Timur.


Sesampai di Jembrana Pinggir Pantai, beliau bertemu I Gusti Ngurah Rangsasa di Pura Usang, sebuah pura di tepi pantai. Ngurah Rangsasa yang mengemban Pura Usang memaksa Danghyang Dwijendra untuk sembahyang. Jika tidak, bahaya akan mengancam Danghyang Dwijendra dan keluarga.
Awalnya, Danghyang Dwijendra menolak. Namun karena terus dipaksa, Beliau pun berkenan. Ketika Beliau me-mona dan meneng untuk bersemadi, pura tersebut roboh dan encak (hancur).
Ngurah Rangsasa pun ketakutan. Dia lari ke arah utara hingga di Sawe. Sampai menemui ajalnya, dia berada di Sawe. Hingga kini daerah tersebut dikenal dengan nama Sawe Rangsasa.
Sementara itu, Danghyang Dwijendra membangun kembali pura yang encak tersebut dan melanjutkan kembali perjalanan. Lama-kelamaan pura tersebut dikenal dengan nama Pura Encak atau Purancak atau Perancak. Di pura inilah umat Hindu melakukan pemujaan untuk Danghyang Dwijendra.
Piodalan di pura ini dilaksanakan setiap Buda Umanis Anggara Kasih Medangsia atau 10 hari sesudah hari raya Kuningan.

Pura Perancak merupakan pusat Pura Dang Khayangan di Bali. ''Di sinilah pertama kali Danghyang Dwijendra mendarat dan mulai melakukan perjalanan. Bisa dikatakan mulai dari Pura Perancak-lah cikal bakal Pura Dang Kahyangan di Bali,'' tandas Mangku Gede yang didampingi Mangku Istri Ni Ketut Sodri.
Sepengetahuan Mangku Gede, sudah dua kali dilaksanakan upacara Ngenteg Linggih di pura ini. Ngenteg linggih yang terakhir dilaksanakan sekitar delapan tahun silam usai pemugaran utama mandala. Sebelumnya utama mandala berada di madya mandala yang sekarang. Karena lokasi kecil dan umat yang datang terus bertambah, areal pura pun diperluas. Rencananya, madya mandala juga akan mengalami perbaikan.
Di utama mandala terdapat bangunan pelinggih Ratu Nyoman, pengayatan Besakih, pelinggih Batara Perancak, Meru Tumpang Tiga, Dewa Ayu Melanting, Padmasana, Gedong, Taksu dan Pengaruman. Di bagian depan utama terdapat tiga kori dan sepasang patung buaya kuning dan hitam. Buaya ini dipercayai sebagai kendaraan Ida Batara. 

Mohon Keselamatan jika Bepergian Jauh
Pengemong Pura Dang Kahyangan Gede Perancak ini terdiri atas tujuh desa yakni Perancak, Yeh Kuning, Sangkaragung, Budeng, Dauhwaru, Batuagung dan Dangin Tukadaya. Setiap enam bulan sekali ketujuh desa ini secara bergantian melakukan piodalan.
Para pemangku dari semua desa ini juga ngayah saat piodalan. Sehari-harinya, selain Mangku Gede dan Mangku Istri, di pura ini juga ada Mangku Alit Nyoman Sena dan Ni Ketut Mudri.
Pada saat piodalan, umat yang datang tidak hanya dari tujuh desa itu saja. Umat dari seluruh Bali dan yang ada di luar Bali juga berdatangan. Sebelum bersembahyang di pura, umat biasanya sembahyang dulu di pelinggih Tri Kona yang ada di sebelah barat. Persembahyangan di pelinggih ini diartikan sebagai penyucian sebelum memasuki utama mandala.
Keberadaan pelinggih Tri Kona ini, menurut Mangku Gede, berawal dari aktivitas para menega atau nelayan Desa Perancak. Sebelum berangkat melaut, mereka mengaturkan bakti memohon keselamatan dan mendapat banyak rezeki. Agar lebih mudah, mereka pun membuat pengayatan. Dengan menganturkan canang, para menega ini bersembahyang mohon keselamatan.
Hal ini pun dipercayai umat yang bukan menega. Setiap akan melakukan perjalanan jauh, mereka bersembahyang di Pura Perancak. ''Umat yang akan berangkat jauh apakah ke luar Bali atau ke luar negeri biasanya sembahyang. Mereka mohon keselamatan selama perjalanan dan mohon tuntunan Ida Batara,'' jelas Ni Ketut Sondri seraya menyebut warga Jembrana yang akan ke Jepang untuk bekerja juga sembahyang ke Pura Perancak.
Selain itu, petani dan subak juga pedek tangkil ke pura yang berada di tepian muara ini. Mereka datang untuk memohon agar hasil pertanian bisa lebih baik dan tidak ada hama yang mengganggu tanaman mereka.  

Sumur Baja
Salah satu tempat yang juga tidak bisa dipisahkan dari Pura Dang Kahyangan Gede Perancak adalah sumur baja, berjarak sekitar 250 meter di barat pura. Menurut Mangku Gede Nyoman Sadra, sumur ini sudah ada sejak zaman dulu. Pengelingsir atau sesepuh dari keluarga Mangku Gede pun tidak tahu persis kapan sumur ini dibuat. Dari keterangan lisan yang diperoleh, sumur ini dibuat oleh orang-orang Baja, Sulawesi. Ketika itu mereka datang ke Bali untuk berjualan pamor (gamping), garam dan sebagainya. Para pedagang ini berlabuh di pantai Perancak. Untuk memenuhi kebutuhan air, mereka membuat sumur. Anehnya, walaupun berada di pinggir pantai, air sumur ini tawar. ”Dibanding sumur-sumur warga Perancak, air di sumur Baja ini yang paling tawar,” ujar Mangku Gede. Dia menambahkan, jarak antara sumur dengan pantai hanya beberapa meter. Di sumur ini juga berdiri sebuah padma tempat menghaturkan sesajen. Kegunaan lain dari sumur ini adalah sebagai pasucian Ida Batara pada saat piodalan. Karena itulah, warga sekitar pura menyebut sumur ini semer beji. Hal lain yang menjadi ciri khas Pura Dang Kahyangan ini adalah pantangan bagi orang hamil dan larangan membawa mayat lewat di depan pura. ”Dari dulu sudah kepingit begitu. Warga juga mempercayainya,” kata mangku yang sebelumnya berprofesi sebagai nelayan ini. Jika ada warga Perancak yang hamil dan tinggal di barat pura, yang bersangkutan akan memilih jalan memutar melalui jalan selatan. Demikian pula jika yang hamil tinggal di timur pura, jalan dipilih juga jalan di sebelah selatan. Mereka tidak berani melanggar pantangan yang sudah dipercayai turun-temurun tersebut. Hal yang sama juga berlaku bagi warga yang meninggal. Warga di barat pura tidak akan mengusung mayat melewati jalan di depan pura. Mereka mempergunakan jalan di selatan untuk menuju setra. Sumber : Balipost, dan dari berbagai sumber 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VIDIO PERADAH JEMBRANA