Harian Bali Post (2/11) hal. 13 memuat berita dengan judul sebagaimana
judul tulisan ini. Sepintas kelihatannya seperti biasa saja. Namun kalau dibaca
keseluruhan berita tersebut, sesungguhnya ada sesuatu yang sangat menarik untuk
mendapat perhatian kita bersama. Apaan Tuh……. ?
“Terungkapnya sebuah Kantor Milik Dinas Dikporaparbud (Pariwisata)
yang berlokasi di Kawasan Wisata Delodbrawah menjadi Gudang Miras adalah
merupakan hasil sidak Tim Pengawasan Mikol dari Dinas Perindagkop Kabupaten
Jembrana di kawasan wisata pantai tersebut. Kantor yang semestinya berfungsi
sebagai pusat informasi pariwisata ternyata beralih fungsi sebagai gudang
miras. Buku-buku tentang informasi
pariwisata yang semestinya ada disana ternyata digantikan buku-buku yang berisi
catatan pembelian bir yang distok ke kafe-kafe
di sekitar Delodbrawah”.
Point yang menarik dari semua ini adalah kantor yang beralih fungsi
menjadi gudang miras dijaga oleh Pecalang Desa Adat Delodbrawah.
Itu berarti ada peran Desa Pakraman didalam pemanfaatan Gedung Kantor tersebut
untuk menyimpan miras dan mengatur distribusi miras tersebut ke kafe-kafe
dikawasan wisata pantai tersebut.
Ini mungkin salah satu kasus yang mencuat kepermukaan dimana telah
terjadi penyimpangan fungsi Desa Pakraman. Kami katakan salah satu kasus, karena tidak tertutup kemungkinan juga
terjadi di Desa-Desa Pakraman lainnya yang mempunyai fotensi pariwisata seperti
Desa Pakraman Delodbrawah. Konsep Desa Pekraman yang merupakan warisan dari Mpu
Kuturan adalah dibentuk untuk membentengi masyarakat (umat Hindu) agar
senantiasa bisa hidup harmonis sebagaimana diamanatkan konsep Tri Hita Karana
yaitu penyelarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan (Ida Sanghyang Widhi),
hubungan manusia dengan manusia dan penyelarasan hubungan manusia dengan
lingkungannya. Dalam Desa Pakraman diharapkan Umat Hindu dapat hidup harmonis
sesuai dengan adat istiadat dan budaya Bali serta mampu membentengi umatnya
dari pengaruh budaya luar (Bali) yang tidak sesuai dengan ajaran Hindu. Warisan
yang luhur inilah yang telah memberi roh bagi pariwisata Bali. Wisatawan datang
ke Bali adalah karena Seni Budaya serta Adat istiadatnya dengan jiwa Agama
Hindu yang didukung keindahan alamnya yang masih alami. Menyadari akan hal
tersebut Pemerintah berusaha menjaga
kelestarian/eksistensi dari Desa Pakraman. Sebut saja kegiatan-kegiatan lomba lembaga-lembaga
adat serta festival-festival seni
budaya serta pemberdayaan ekonomi masyarakat Desa Pakraman dengan Lembaga Perkreditan
Desa (LPD) maupun Program CBD dll adalah kegiatan-kegiatan yang diadakan dalam
rangka melestarikan warisan leluhur kita (orang Bali) yang adiluhung tersebut.
Tidak hanya itu saja, Pemerintah juga mengucurkan dana ratusan juta kepada
masing-masing Desa Pakraman untuk pemberdayaan Desa Pakraman. Semua itu adalah
bertujuan agar Prejuru Desa Pakraman sebagai pengendali Desa Pakraman focus mengurusi
Desa Pakraman dibidang Adat istiadat, Budaya dan Agama Hindu. Memang tidak
sedikit permasalahan yang muncul dalam perjalannya, namun hendaknya dicarikan
jalan keluar yang lebih bijaksana (bukan
bejek sana-bejek sini) dengan tetap berpegang teguh pada adat, budaya dan
agama Hindu. Demikianlah idialnya seorang Bendesa Pekraman dengan tanggungjawabnya Membina kehidupan masyarakatnya agar sesuai
dengan adat dan budaya serta Agama Hindu sehingga dapat mewujudkan
kesejahteraan masyarakat Desa Pakraman itu sendiri.
Pertanyaannya sekarang adalah
tidak cukupkah perhatian Pemerintah kepada Desa Pakraman sehingga Bendesa
Pakraman harus mencari usaha sampingan?
Jawabannya sudah pasti kurang dibandingkan dengan
tuntutan “kebutuhan” ( dan juga “keinginan”) Masyarakat yang kian hari kian kompleks serta
ingin serba instan.
Dalam kontek pemberitaan media sebagaimana tersebut diatas, sepertinya ada sedikit kekeliruan dan perlu
pelurusan dari pelaksanaan fungsi Desa
Pekraman. Adalah sangat bijaksana apabila Bendesa Pakraman yang wilayah desanya
mempunyai potensi pariwisata lebih berperan dalam hal-hal tertentu saja seperti
: menjaga ketentraman dan ketertiban wilayahnya
agar keberadaan kafe-kafe tersebut tidak mengganggu ketentraman dan
ketertiban kehidupan masyarakatnya, misalnya
dengan menjadi filter bagi
pengunjung maupun pekerja, menjadi pengendali waktu beroperasinya, menyediakan
layanan kesehatan dan membantu mencegah terjadinya peredaran barang-barang
terlarang psikotropika. Sayangnya yang
terjadi justru sebaliknya. Aparat yang berwenang baik sipil, polri maupun Desa
pakraman itu sendiri sering turut larut memanfaatkan dan menikmati layanan dari apa yang semestinya
menjadi pengawasannya sehingga aparat
tidak bisa bertindak tegas dan cendrung kelihatan lebih bijaksana ( baca : bejek sana- bejek sini). Masyarakat
umumnya sudah tahu sedang terjadi
perselingkuhan antara tikus dengan kucing, namun tidak bisa berbuat
apa-apa. Penertiban yang dilakukan aparat hanyalah sandiwara belaka untuk
menunjukkan kepada masyarakat bahwa aparat telah melaksanakan fungsinya
meskipun hasilnya tidak memuaskan ( karena
yang ditertibkan sudah tahu rencana yang dilakukan aparat).
Cilakanya lagi, disadari atau tidak…. ada indikasi pembunuhan karakter “ Desa Pakraman” dengan berdalih O T O N O M I.
Oleh karena itu,….. Siapapun
orangnya……….. dan apapun jabatannya………… mari sadari apa tugas pokok dan fungsi
serta kewenangan yang mengiringinya agar tercipta K E H A R M O N I S A N .
Pendapat
anda bagaimana ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar